Filosofi Ayah
Sore itu
hujan, tangisan alam hampir mereda, namun airnya tetap membuat bajuku basah,
tak banyak, namun cukup membuat badanku kedinginan. Aku berlari-lari kecil
menuju rumah, setelah hampir satu jam berteduh di emperan toko yang sedang
tutup. Begitu menjejakkan kaki di kampung kelahiranku, hujan deras mengguyur
dan membuatku tak bisa langsung menuju rumah karena tak ada benda yang dapat
kugunakan untuk melindungiku dari hujan. Memang tak masalah bila nanti aku
basah kuyup oleh hujan, toh sampai dirumah nanti aku bisa berganti baju lagi,
tapi barang-barang yang kubawa tidak memungkinkan, tasku tidak bermantel.
Sesekali aku
menginjak kubangan air tanpa kusadari, sehingga langkah kakiku yang menjejak
kuat karena berlari menciptakan cipratan yang membuat setengah celanaku basah
sekaligus berlumpur. Hanya membutuhkan lima menit untuk sampai di rumah,
langsung kubuka pintu gerbang, suaranya yang berderit membuat Ayahku keluar
dari dalam rumah, mengecek siapa yang datang tanpa memencet bel dan salam.
“Maaf
langsung masuk, Ayah. Diluar hujan.” Aku langsung menjelaskan.
“Assalamu’alaikum,
Ayah. Aku pulang.” Lanjutku sembari mencium tangan Ayah, lalu menatapnya lama,
melepas rindu.
“Kenapa
terlambat satu jam dari perkiraanmu sebelumnya?” Tanya ayah sambil
mengisyaratkanku untuk duduk, membuka percakapan.
“Sampai
disini hujan, Yah. Terpaksa berteduh, tak ada payung.”
“Ayah kan
bisa menjemputmu, kau tinggal menghubungi Ayah, lagipula tak terlalu jauh dari
pemberhentianmu”
“Ponselku lowbatt, Ayah. Hehe.” Ucapku nyengir.
Hujan reda
tanpa kusadari karena terlalu asyik berbasa-basi melepas rindu dengan Ayah,
begitu aku menatap langit, pelangi dengan indahnya bertengger, warna-warninya
mengingatkanku pada kuliahku di salah satu universitas nun jauh di Pulau Jawa,
di kampus seni. Aku dan Ayah berbincang-bincang di beranda, duduk di kursi
rotan menatap hujan yang mulai mereda, tanpa secangkir teh hangat yang
kuharapkan bisa menghangatkan badan. Aku maklum, Ayah tak terbiasa
melakukannya, menyajikan teh bila diperlukan, biasanya Bunda yang melakukannya,
tapi Bunda sudah tiada sejak dua tahun lalu, Ayah hanya ditemani Pak Junardi,
pembantu di rumah kami yang hari ini sedang pulang karena cucunya di aqiqah.
“Bagaimana
kuliahmu?” Ayah langsung ke topik pembicaraan.
“Seperti
biasa, Yah. Sekarang memasuki semester ke enam. Akhir-akhir ini aku sibuk, Yah.
Ujiannya membuat berbagai macam barang seni, waktunya mepet padahal membuatnya
lama, sebelum liburan ini harus sudah selesai, aku tak menyelesaikan dua
karyaku, dan tak mendapat nilai.” Aku mengeluarkan semua uneg-unegku, namun
pandanganku tertuju ke langit, tak menunduk, namun menerawang membayangkan
aktivitasku di kampus.
Ayah hanya
diam, berdeham lalu mulai berkata, pandangannya sama sepertiku, menatap langit.
“Kau lihat
burung itu nak?” Tangannya menunjuk seekor burung walet yang terbang sedikit
kesusahan menembus hujan.
“Seekor
walet, Ayah.” Jawabku.
“Ya, dan
burung itu terbang tergesa-gesa bukan? Mencoba menghindari hujan, padahal lebih
baik menunggu hingga reda, tapi sesuatu tak langsung berakhir baik begitu
saja.walet itu nekat kembali ke sarang saat ini juga daripada menunggu, karena
tak ada yang tahu apakah hujan akan reda atau nanti malah deras lagi.”
Aku hanya
diam menyimak, mencoba mencerna kalimat Ayah.
“Lebih baik
mengambil resiko sekarang juga saat sesuatu sedang seimbang, nak. Tak terlalu
baik maupun terlalu buruk.” Lanjutnya.
Hujan reda,
dari timur muncul biasan cahaya yang membentuk bermacam warna, pelangi. Muncul
tepat di depan rumahku, di langit yang sedang kami pandang. Dan Ayah
berfilosofi lagi.
“Lihat
pelangi didepan itu, berapa jumlah warnanya? Bisa kau sebutkan?”
“Tujuh.
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu..” Aku menyebut warnanya satu
persatu tanpa melihat kearah depan, itu mudah. Pandanganku lurus menatap ayah,
menanti jawaban beliau selanjutnya.
“Ya, Tuhan
menciptakan ketujuh warna itu dalam sekali goresan,nak. Dan hasilnya selalu
sempurna. Tapi kita hanya manusia, tak bisa melakukan beberapa sesuatu
sekaligus..hm.” Ayah berdeham, jeda sejenak.
“Tapi kita hanya
manusia,nak. Tak bisa melebihi Tuhan. Seperti kau, tak bisa menyelesaikan
beberapa tugas sekaligus, selesaikanlah satu persatu. Kelak saat waktunya
habis, salah satu karyamu bisa kau kumpulkan, dan kau mendapat nilai walau
hanya satu karya. Tak seperti kemarin, kau kerjakan semuanya berbarengan justru
hasilnya gagal semua, tak tepat waktu.”
Aku terdiam
beberapa saat, menatap mata Ayah lekat. “Aku mengerti, Yah. Aku akan
bersungguh-sungguh kedepannya.” Aku menekankan nada bicaraku agar terdengar
yakin.
“Jangan
hanya bersungguh-sungguh nak, tapi juga tangguh, agar kau kuat saat kau gagal,
dengan begitu kau masih punya semangat untuk memperbaikinya.” Ayah menepuk
pundakku, lalu beranjak dari kursinya.
“Ayo masuk
nak, istirahatlah.” Lanjutnya sembari berjalan masuk, sedetik kemudian tubuhnya
lenyap dibalik pintu.
Aku tak
menjawab, mataku mengekor kearahnya, kupalingkan pandanganku ke arah langit
tatkala sosoknya menghilang. Kusandarkan punggungku dan kuhembuskan nafas
panjang. Kunikmati senja pertama sekembaliku dari rantau dengan pikiran yang
lebih enteng, semua bebanku seolah terangkat, aku merasa tenang. Angin yang
membawa dingin sisa hujan tak terlalu kurasakan, tubuhku tak merasa lagi
kedinginan, walau tanpa secangkir teh yang tadi kuharapkan terhidang. Kehangatan
teh buatan Bunda telah terganti dengan kehangatan Ayah yang bersumber dari
filosofi-filosofinya. Ayahku adalah pria paling hebat yang pernah kutemui.
Terimakasih Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar