Sabtu, 29 Oktober 2016

AYAH !

Filosofi Ayah



Sore itu hujan, tangisan alam hampir mereda, namun airnya tetap membuat bajuku basah, tak banyak, namun cukup membuat badanku kedinginan. Aku berlari-lari kecil menuju rumah, setelah hampir satu jam berteduh di emperan toko yang sedang tutup. Begitu menjejakkan kaki di kampung kelahiranku, hujan deras mengguyur dan membuatku tak bisa langsung menuju rumah karena tak ada benda yang dapat kugunakan untuk melindungiku dari hujan. Memang tak masalah bila nanti aku basah kuyup oleh hujan, toh sampai dirumah nanti aku bisa berganti baju lagi, tapi barang-barang yang kubawa tidak memungkinkan, tasku tidak bermantel.
Sesekali aku menginjak kubangan air tanpa kusadari, sehingga langkah kakiku yang menjejak kuat karena berlari menciptakan cipratan yang membuat setengah celanaku basah sekaligus berlumpur. Hanya membutuhkan lima menit untuk sampai di rumah, langsung kubuka pintu gerbang, suaranya yang berderit membuat Ayahku keluar dari dalam rumah, mengecek siapa yang datang tanpa memencet bel dan salam.
“Maaf langsung masuk, Ayah. Diluar hujan.” Aku langsung menjelaskan.
“Assalamu’alaikum, Ayah. Aku pulang.” Lanjutku sembari mencium tangan Ayah, lalu menatapnya lama, melepas rindu.
“Kenapa terlambat satu jam dari perkiraanmu sebelumnya?” Tanya ayah sambil mengisyaratkanku untuk duduk, membuka percakapan.
“Sampai disini hujan, Yah. Terpaksa berteduh, tak ada payung.”
“Ayah kan bisa menjemputmu, kau tinggal menghubungi Ayah, lagipula tak terlalu jauh dari pemberhentianmu”
“Ponselku lowbatt, Ayah. Hehe.” Ucapku nyengir.
Hujan reda tanpa kusadari karena terlalu asyik berbasa-basi melepas rindu dengan Ayah, begitu aku menatap langit, pelangi dengan indahnya bertengger, warna-warninya mengingatkanku pada kuliahku di salah satu universitas nun jauh di Pulau Jawa, di kampus seni. Aku dan Ayah berbincang-bincang di beranda, duduk di kursi rotan menatap hujan yang mulai mereda, tanpa secangkir teh hangat yang kuharapkan bisa menghangatkan badan. Aku maklum, Ayah tak terbiasa melakukannya, menyajikan teh bila diperlukan, biasanya Bunda yang melakukannya, tapi Bunda sudah tiada sejak dua tahun lalu, Ayah hanya ditemani Pak Junardi, pembantu di rumah kami yang hari ini sedang pulang karena cucunya di aqiqah.
“Bagaimana kuliahmu?” Ayah langsung ke topik pembicaraan.
“Seperti biasa, Yah. Sekarang memasuki semester ke enam. Akhir-akhir ini aku sibuk, Yah. Ujiannya membuat berbagai macam barang seni, waktunya mepet padahal membuatnya lama, sebelum liburan ini harus sudah selesai, aku tak menyelesaikan dua karyaku, dan tak mendapat nilai.” Aku mengeluarkan semua uneg-unegku, namun pandanganku tertuju ke langit, tak menunduk, namun menerawang membayangkan aktivitasku di kampus.
Ayah hanya diam, berdeham lalu mulai berkata, pandangannya sama sepertiku, menatap langit.
“Kau lihat burung itu nak?” Tangannya menunjuk seekor burung walet yang terbang sedikit kesusahan menembus hujan.
“Seekor walet, Ayah.” Jawabku.
“Ya, dan burung itu terbang tergesa-gesa bukan? Mencoba menghindari hujan, padahal lebih baik menunggu hingga reda, tapi sesuatu tak langsung berakhir baik begitu saja.walet itu nekat kembali ke sarang saat ini juga daripada menunggu, karena tak ada yang tahu apakah hujan akan reda atau nanti malah deras lagi.”
Aku hanya diam menyimak, mencoba mencerna kalimat Ayah.
“Lebih baik mengambil resiko sekarang juga saat sesuatu sedang seimbang, nak. Tak terlalu baik maupun terlalu buruk.” Lanjutnya.
Hujan reda, dari timur muncul biasan cahaya yang membentuk bermacam warna, pelangi. Muncul tepat di depan rumahku, di langit yang sedang kami pandang. Dan Ayah berfilosofi lagi.
“Lihat pelangi didepan itu, berapa jumlah warnanya? Bisa kau sebutkan?”
“Tujuh. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu..” Aku menyebut warnanya satu persatu tanpa melihat kearah depan, itu mudah. Pandanganku lurus menatap ayah, menanti jawaban beliau selanjutnya.
“Ya, Tuhan menciptakan ketujuh warna itu dalam sekali goresan,nak. Dan hasilnya selalu sempurna. Tapi kita hanya manusia, tak bisa melakukan beberapa sesuatu sekaligus..hm.” Ayah berdeham, jeda sejenak.
“Tapi kita hanya manusia,nak. Tak bisa melebihi Tuhan. Seperti kau, tak bisa menyelesaikan beberapa tugas sekaligus, selesaikanlah satu persatu. Kelak saat waktunya habis, salah satu karyamu bisa kau kumpulkan, dan kau mendapat nilai walau hanya satu karya. Tak seperti kemarin, kau kerjakan semuanya berbarengan justru hasilnya gagal semua, tak tepat waktu.”
Aku terdiam beberapa saat, menatap mata Ayah lekat. “Aku mengerti, Yah. Aku akan bersungguh-sungguh kedepannya.” Aku menekankan nada bicaraku agar terdengar yakin.
“Jangan hanya bersungguh-sungguh nak, tapi juga tangguh, agar kau kuat saat kau gagal, dengan begitu kau masih punya semangat untuk memperbaikinya.” Ayah menepuk pundakku, lalu beranjak dari kursinya.
“Ayo masuk nak, istirahatlah.” Lanjutnya sembari berjalan masuk, sedetik kemudian tubuhnya lenyap dibalik pintu.
Aku tak menjawab, mataku mengekor kearahnya, kupalingkan pandanganku ke arah langit tatkala sosoknya menghilang. Kusandarkan punggungku dan kuhembuskan nafas panjang. Kunikmati senja pertama sekembaliku dari rantau dengan pikiran yang lebih enteng, semua bebanku seolah terangkat, aku merasa tenang. Angin yang membawa dingin sisa hujan tak terlalu kurasakan, tubuhku tak merasa lagi kedinginan, walau tanpa secangkir teh yang tadi kuharapkan terhidang. Kehangatan teh buatan Bunda telah terganti dengan kehangatan Ayah yang bersumber dari filosofi-filosofinya. Ayahku adalah pria paling hebat yang pernah kutemui. Terimakasih Ayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar