Filosofi Rumah Gadang
Falsafah Hidup Orang Minang
Hakekat dari
rumah gadang, baik dari gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar
dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau (alam
takambang jadi guru). Rumah Gadang, boleh dikatakang sedikit tergilas dengan
rumah bergaya arsitektur modern baik dari bentuk dan fungsinya. Namun
demikian tak bisa menafikan di beberapa daerah yang masih kental adat dan
budaya, masih melestarikan dan memfungsikan Rumah Gadang dalam kehidupannya dengan
baik.
Adapula yang
masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan Rumah Gadang
tersebut dapat dijumpai di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan “Seribu
Rumah Gadang”. Sedangkan jejeran Rumah Gadang lainnya ada di Kota Solok dan
Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan beberapa daerah lainnya di Propinsi
Sumatera Barat.
Bila ditilik
dari filosofinya, Rumah Gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena bentuknya yang
besar saja. Melainkan ditinjau dari fungsi juga sangat besar. Ini tertuang
dalam ungkapan yang sering kita dengar dari tetua-tetua adat membicarakan
masalah Rumah Gadang tersebut. Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato
hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang
naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian
Dari ungkapan
tersebut dapat dipahami bahwa fungsi Rumah Gadang, melingkupi bagian
keseluruhan kehidupan keseharian orang Minangkabau. Baik sebagai tempat
kediaman keluarga dan merawat keluarga. Termasuk pula sebagai pusat melaksanakan
berbagai upacara, sebagai tempat tinggal bersama keluarga. Bahkan diatur
pula tempat perempuan yang sudah berkeluarga dan yang belum. Rumah Gadang
memiliki fungsi sebagai tempat bermufakat. Rumah Gadang juga merupakan bangunan
pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan berbagai hal dalam sebuah
suku, kaum maupun nagari.
Kekinian Rumah Gadang
Apakah saat ini
fungsi Rumah Gadang memang seperti itu adanya? Sulit untuk menjawabnya. Bisa
jadi saat ini terjadi degredasi dalam memfungsikan Rumah Gadang dalam kehidupan
orang Minangkabau.
Berbagai
persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang tak lagi
mengindahkan fungsi Rumah Gadang. Contoh kecil saja kita sebut, persoalan
tanah yang sampai ketingkat pengadilan marupakan ketidak-mampuan memahami
fungsi Rumah Gadang. Ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan, “bulek aie dek
pambuluah-bulek kato dek mupakat, Aie batitisan batuang-bana bana batatasan
urang, Bajanjang naiek-batanggo turun”. Ini dimusyawarahkan dan dimufakatkan
di Rumah Gadang sebetulnya.
Dari perspektif
sejarah, pemerintah Kolonial Belanda sudah mewanti-wanti untuk memfungsikan
hal tersebut dan menawarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di nagari
dengan adatnya. Pada 1930-an, bahkan menjadi praktek umum pengadilan bahwa
perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali
pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari pemangku adat
sebelumnya, secara implisit yakni fungsi Rumah Gadang (Guyt, 1934 : 134).
Pada tahun
1935, sejenis “peradilan kampung” secara resmi diterapkan oleh pemerintah
kolonial. Sebuah ordonansi yang mengamandemen Rechtsreglement voor de
Buitenggewesten (RBG), disahkan dan menyatakan bahwa : “Tindakan-tindakan
hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus
membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut”.
Lembaga-lembaga adat tersebut mendapatkan pengakuan status hakim
perdamaian. Meskipun demikian pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan
perkara mereka ke pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, tata caranya distriktsgerechten harus menerangkan kepada
mereka apakah “peradilan kampung” itu telah memberikan keputusan dalam kasus
tersebut. Jika demikian, apakah mereka wajib mempertimbangkan keputusan
tersebut Beckman (2000) menulis bahwa sejak kemerdekaan Hindia Belanda tahun
1945 situasi majemuk itu pada dasarnya tidak berubah.
Peraturan yang
terkandung di dalam Pasal 163 dan 131. I.S misalnya pada umumnya tetap berlaku
dan tetap diterapkan di Pengadilan Negeri di Minangkabau masa itu. Pasal 163
I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang tergolong ke dalam kelompok
penduduk yang mana. Pasal 131 mengatur undang-undang mana yang harus
diterapkan untuk kelompok-kelompok penduduk tertentu. Begitulah nuansa
bagaimana kekuatan adat diutamakan, walaupun dominasi hukum barat juga
menyentuh kehidupan masyarakat kita saat itu. Namun untuk ke arah itu sudah
dimulainya.
Rangkiang
Di depan Rumah
Gadang terdapat hiasan bernama rangkiang. Sayangnya tidak lagi menyentuh dan
difungsikan dalam kehidupan kemasyarakatan Minang. Gizi buruk tak akan pernah
terjadi bila memahami roh rangkiang yang berdiri megah di depan Rumah Gadang.
Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, bahwa setiap
keluarga menghiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna
dari sudut duniawi.
Mengapa tidak
untuk membeli barang-barang tersebut, terutama barang-barang yang berupa
keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibuat sendiri telah ada rangkiang si
tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga keperluan makan sehari-hari, sudah
ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka
untuk mengatasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa. Dengan adanya
rangkiang ini telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di
kemudian hari-sebab dalam rangkiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan
padi.
Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah
disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Menurut filosofinya, tidak mengenal
yang namanya gizi buruk, kelaparan, berhutang dan lain sebagainya. Rangkiang
tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini! (Undri, Haluan,
Senin, 21 Maret 2011).
Ironisnya pasca
gempa yang melanda Padang dan sekitarnya, para arsitek menyarankan pembuatan
rumah ke depannya dengan mencontoh pola arsitektur Rumah Gadang. Rangkaian
dari arsitektur Rumah Gadang sangat kokoh. Bila terjadi gempa akan dapat meminimalisir
terjadinya kerusakan. Ada baiknya memfungsikan Rumah Gadang dengan
ke-gadangan-nya. Merupakan sebuah keharusan supaya tak tergilas arus global dan
modernisasi.
SUMBER : http://inibangsaku.com/filosofi-rumah-gadang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar