Sabtu, 29 Oktober 2016

Filosofi Rumah Gadang

Filosofi Rumah Gadang

Falsafah Hidup Orang Minang

            Hakekat dari rumah gadang, baik dari gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau (alam takambang jadi guru). Rumah Gadang, boleh dikatakang sedikit tergilas dengan rumah bergaya arsi­tektur mo­dern baik dari bentuk dan fungsinya. Namun demikian tak bisa mena­fikan di beberapa daerah yang masih kental adat dan budaya, masih melestarikan dan memfungsikan Rumah Gadang dalam kehidupannya de­ngan baik.
            Adapula yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan Rumah Gadang tersebut dapat dijumpai di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan “Seribu Rumah Gadang”. Sedangkan jejeran Rumah Gadang lainnya ada di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan beberapa daerah lainnya di Propinsi Sumatera Barat.
            Bila ditilik dari filosofinya, Rumah Gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena bentuknya yang besar saja. Melainkan ditinjau dari fungsi juga sangat besar. Ini tertuang dalam ungkapan yang sering kita dengar dari tetua-tetua adat membicarakan masalah Rumah Gadang tersebut. Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliak­nyo aluang bunian
            Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa fung­si Rumah Gadang, me­lingkupi bagian keseluruhan ke­hi­dupan keseharian orang Minangkabau. Baik sebagai tem­pat kediaman keluarga dan me­rawat ke­luarga. Termasuk pula sebagai pusat melaksa­na­kan ber­bagai upacara, sebagai tem­pat ting­gal bersama keluarga. Bahkan di­atur pula tempat perempuan yang sudah berkeluarga dan yang be­lum. Rumah Gadang memiliki fungsi sebagai tempat ber­mufakat. Ru­mah Gadang juga merupa­kan ba­ngun­an pusat dari seluruh ang­gota ka­um dalam membicarakan berbagai hal dalam se­buah suku, kaum maupun nagari.

Kekinian Rumah Gadang

            Apakah saat ini fungsi Rumah Gadang memang seperti itu adanya? Sulit untuk menjawabnya. Bisa jadi saat ini terjadi degredasi dalam memfungsikan Rumah Gadang dalam kehidupan orang Minangkabau.
            Berbagai persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang tak lagi mengin­dahkan fungsi Rumah Gadang. Contoh kecil saja kita sebut, persoalan tanah yang sampai ke­tingkat pengadilan marupakan keti­dak-mampuan memahami fungsi Rumah Gadang. Ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan, “bulek aie dek pambuluah-bulek kato dek mupakat, Aie batitisan batuang-bana bana batatasan urang, Bajanjang naiek-batanggo turun”. Ini dimu­syawarahkan dan dimufakatkan di Rumah Gadang sebetulnya.
            Dari perspektif sejarah, peme­rintah Kolonial Belanda sudah mewanti-wanti untuk memfungsikan hal tersebut dan menawarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di nagari dengan adatnya. Pada 1930-an, bahkan menjadi praktek umum pengadilan bahwa perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari pemangku adat sebelumnya, secara implisit yakni fungsi Rumah Gadang (Guyt, 1934 : 134).
            Pada tahun 1935, sejenis “peradilan kampung” secara resmi diterapkan oleh pemerintah kolonial. Sebuah ordonansi yang meng­amandemen Rechtsreglement voor de Buitenggewesten (RBG), disahkan dan menyatakan bahwa : “Tindakan-tindakan hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut”.
Lembaga-lembaga adat tersebut mendapatkan pengakuan status hakim perdamaian. Meskipun demikian pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan perkara mereka ke pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, tata caranya distrikts­gerechten harus menerangkan kepada mereka apakah “peradilan kampung” itu telah memberikan keputusan dalam kasus tersebut. Jika demikian, apakah mereka wajib mempertimbangkan keputusan tersebut Beckman (2000) menulis bahwa se­jak kemerdekaan Hindia Belanda ta­hun 1945 situasi majemuk itu pada dasarnya tidak berubah.
            Peraturan yang terkandung di dalam Pasal 163 dan 131. I.S misalnya pada umumnya te­tap berlaku dan tetap diterapkan di Pengadilan Negeri di Minangkabau ma­sa itu. Pasal 163 I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang ter­golong ke dalam kelompok pendu­duk yang mana. Pasal 131 me­ngatur undang-undang mana yang ha­rus diterapkan untuk kelompok-ke­lompok penduduk tertentu. Begi­tu­lah nuansa bagaimana kekuatan adat diutamakan, walaupun dominasi hu­kum barat juga menyentuh kehi­dup­an masyarakat kita saat itu. Na­mun untuk ke arah itu sudah dimu­lainya.

Rangkiang

            Di depan Rumah Gadang terdapat hiasan bernama rangkiang. Sayangnya tidak lagi menyentuh dan difungsikan dalam kehidupan kemasyarakatan Minang. Gizi buruk tak akan pernah terjadi bila memahami roh rangkiang yang berdiri megah di depan Rumah Gadang. Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, bahwa setiap keluarga menghiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi.
            Mengapa tidak untuk membeli barang-barang tersebut, terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibuat sendiri telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk menga­tasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa. Dengan adanya rangkiang ini telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari-sebab dalam rang­kiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi.
Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Menurut filosofinya, tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, berhutang dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini! (Undri, Haluan, Senin, 21 Maret 2011).
            Ironisnya pasca gempa yang melanda Padang dan sekitarnya, para arsitek menya­rankan pembuatan rumah ke de­pannya dengan mencontoh pola arsitektur Rumah Gadang. Rangkaian dari arsitektur Rumah Gadang sangat kokoh. Bila terjadi gempa akan dapat memi­nimalisir terjadinya kerusakan. Ada baiknya memfungsikan Rumah Gadang dengan ke-gadangan-nya. Merupakan sebuah keharusan supaya tak tergilas arus global dan modernisasi.


SUMBER : http://inibangsaku.com/filosofi-rumah-gadang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar