Filosofi Hidup Seorang Ibu
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (QS An Nisaa’ [4]:36)
Suatu ketika di tahun 1976, langkah
seorang anak dan ibunya terhenti di depan etalase sebuah toko mainan.
Penglihatan si anak tertuju pada sebuah mainan yang sangat menarik hatinya.
Sang Ibu membiarkannya untuk melihat sepuasnya tanpa ingin mengajaknya masuk ke
dalam toko tersebut. Timbul keinginan si anak untuk memintanya kepada sang Ibu,
tapi ia amat mengerti keadaan keluarga mereka yang pas-pasan. Dalam usianya
yang baru menginjak 7 tahun, si anak telah biasa hidup dalam keadaan prihatin.
Ayahnya hanya seorang pegawai BUMN biasa dan peran sang Ibu dalam menanamkan
dilai-nilai kesederhanaan selalu terpatri dalam benaknya. Ketika akhirnya sang
Ibu mengajaknya untuk berlalu, si anak berkata kepada ibunya,
“Kalo
Mamah nanti sudah dapat arisan, belikan mainan yang itu yah Mah. Itupun kalo
uang arisannya masih ada sisa, kalo ngga ada ya ngga apa-apa.”
Permintaan
lirih si anak membuat mata sang Ibu berkaca-kaca dan mampu untuk menggerakkan
langkah sang ibu memasuki toko tersebut. Sang Ibu membayar mainan tersebut yang
ketika itu berharga Rp3.000,- sembari berkata pada si anak,
“Jaga baik-baik ya Nak. Doain Mamah biar
dapat arisan hari ini.”
Dari toko tersebut, mereka menuju sebuah
rumah dimana acara arisan di gelar. Sang Ibu berkata pada bendahara arisan
bahwa uang arisan yang seharusnya disetor Rp15.000,- masih kurang Rp3.000,-
Sang Ibu berjanji untuk melunasinya minggu depan.
Tiba saat pencabutan nomor, ternyata sang
Ibu yang mendapat giliran tarikan bulan ini. Ia memperoleh Rp300.000,- Dengan
serta merta ia memeluk si anak dan berkata,
“Nak, Alhamdulillah, doa kamu dikabulkan
Allah. Ibu sangat berterima kasih pada kamu”
Si anak yang masih belia itu hanya dapat
bersyukur dalam hatinya. Ia telah dapat membahagiakan ibunya walau awalnya ia
telah menyusahkan sehingga sang ibu tidak dapat membayar lunas uang arisannya.
…
Pada
suatu ketika di tahun 2006, di ruang tunggu ICCU sebuah rumah sakit megah di
Jakarta, si anak sedang menunggu sang Ibu yang terkena serangan
jantung. Pada jam 2.00 dini hari, seorang perawat memanggilnya untuk masuk dan
bertemu dengan dokter spesialis jantung yang menangani sang Ibu. Dokter
tersebut menyampaikan bahwa kondisi sang Ibu dalam keadaan stabil dan akan
dipindah ke kamar. Seorang perawat mengarahkanya untuk menuju kasir dan
membayar uang jaminan bagi kamar yang akan ditempati sang Ibu. Ia berusaha
memilih yang terbaik bagi sang Ibu dan
membayar uang jaminan kamar sebesar Rp7 jt.
Ketika mereka sudah berada di kamar rawat
inap tersebut, sang Ibu memeluk si anak dan berkata,
” Terima kasih, nak. Kamu sudah
memilihkan kamar yang baik buat Mamah, walaupun kamar ini terlalu besar
buat Mamah tempati.”
Si anak tersenyum dan berkata, “Tidak
apa-apa Mah, yang penting Mamah cepat sembuh. Mohon doa, agar Allah memberi
keluasan rezeki serta usaha saya dilapangkan oleh Allah.”
Jam 9.00 pagi hari itu juga, seorang
kepala cabang sebuah Bank Syariah terbesar di tanah air menghubungi si anak.
Pinjaman yang diajukannya lebih dari sebulan yang lalu telah disetujui. Ia
diminta datang ke Bank tersebut secepatnya untuk menandatangani berkas-berkas
menyangkut hal tersebut. Jumlah pinjaman yang disetujui adalah Rp700jt. Si anak
yang saat itu masih berada di rumah sakit, langsung memeluk sang Ibu dan berkata,
“Alhamdulillah, Mah. Allah telah
mengabulkan doa Mamah. Allah cepat sekali membalas kebaikan yang telah saya
buat untuk Mamah.”
…
Kini
di tahun 2012, ketika si anak sedang bersimpuh diantara rakaat-rakaat
tahajudnya di sajadah warisan sang Ibu jauh di tengah malam yang sunyi,
dua kisah di atas kembali terlintas dalam benaknya. Ikatan bathin yang ada
diantara ia dan Ibunya begitu indah terjalin dan menjadi sumber kebaikan yang
tak akan habis bagi keduanya. Disamping itu, Sang Ibu telah mengajarkan
sebuah filosofi hidup yang tak akan pernah ia lupakan. Sang Ibu mengajarkan
kepadanya,
“Ingatlah bahwa kita selalu hidup
diantara dua waktu shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita untuk
melakukan segala aktivitas: Kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu, beristirahat
dan segala hal yang dapat kita lakukan, tapi ketika waktu shalat telah tiba,
tinggalkan hal itu semua untuk menghadap kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.”
Genangan airmata mulai membasahi wajah si
anak seiring derai air hujan yang terdengar perlahan turun malam itu. Kini sang
Ibu hidup berpisah alam dengannya. Lima tahun yang lalu Allah Azza wa Jalla
memanggil sang Ibu. Tiada warisan yang lebih berharga daripada filosofi hidup
yang telah diajarkan sang Ibu kepadanya dan sebuah sajadah yang kini selalu
dipakai si anak dalam beribadah kepada Rabb-nya. Ia mengangkat tangannya dan
berdoa,
“Ya
Rabb, begitu banyak kebaikan yang telah diberikan oleh Ibuku. Ampuni segala
dosanya, balaslah segala kebaikan yang telah ia berikan kepadaku dengan balasan
yang berlipat ganda dan tempatkan ia disisi-Mu bersama dengan hamba-hamba
Engkau yang shaleh”
Dari Abu Hurairah ra, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali
bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut
bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang
tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian
ayahmu.’” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Yang fakir kepada ampunan
M. Fachri
Sumber : https://mohammadyasserfachri.wordpress.com/2012/04/14/filosofi-hidup-seorang-ibu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar