Sabtu, 29 Oktober 2016

IBU !!

Filosofi Hidup Seorang Ibu



            “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS An Nisaa’ [4]:36)

            Suatu ketika di tahun 1976, langkah seorang anak dan ibunya terhenti di depan etalase sebuah toko mainan. Penglihatan si anak tertuju pada sebuah mainan yang sangat menarik hatinya. Sang Ibu membiarkannya untuk melihat sepuasnya tanpa ingin mengajaknya masuk ke dalam toko tersebut. Timbul keinginan si anak untuk memintanya kepada sang Ibu, tapi ia amat mengerti keadaan keluarga mereka yang pas-pasan. Dalam usianya yang baru menginjak 7 tahun, si anak telah biasa hidup dalam keadaan prihatin. Ayahnya hanya seorang pegawai BUMN biasa dan peran sang Ibu dalam menanamkan dilai-nilai kesederhanaan selalu terpatri dalam benaknya. Ketika akhirnya sang Ibu mengajaknya untuk berlalu, si anak berkata kepada ibunya,

            “Kalo Mamah nanti sudah dapat arisan, belikan mainan yang itu yah Mah. Itupun kalo uang arisannya masih ada sisa, kalo ngga ada ya ngga apa-apa.”
            Permintaan lirih si anak membuat mata sang Ibu berkaca-kaca dan mampu untuk menggerakkan langkah sang ibu memasuki toko tersebut. Sang Ibu membayar mainan tersebut yang ketika itu berharga Rp3.000,- sembari berkata pada si anak,
“Jaga baik-baik ya Nak. Doain Mamah biar dapat arisan hari ini.”
Dari toko tersebut, mereka menuju sebuah rumah dimana acara arisan di gelar. Sang Ibu berkata pada bendahara arisan bahwa uang arisan yang seharusnya disetor Rp15.000,- masih kurang Rp3.000,- Sang Ibu berjanji untuk melunasinya minggu depan.
Tiba saat pencabutan nomor, ternyata sang Ibu yang mendapat giliran tarikan bulan ini. Ia memperoleh Rp300.000,- Dengan serta merta ia memeluk si anak dan berkata,
“Nak, Alhamdulillah, doa kamu dikabulkan Allah. Ibu sangat berterima kasih pada kamu”
Si anak yang masih belia itu hanya dapat bersyukur dalam hatinya. Ia telah dapat membahagiakan ibunya walau awalnya ia telah menyusahkan sehingga sang ibu tidak dapat membayar lunas uang arisannya.
            Pada suatu ketika di tahun 2006, di ruang tunggu ICCU sebuah rumah sakit megah di Jakarta, si anak sedang menunggu  sang Ibu  yang terkena serangan jantung. Pada jam 2.00 dini hari, seorang perawat memanggilnya untuk masuk dan bertemu dengan dokter spesialis jantung yang menangani sang Ibu. Dokter tersebut menyampaikan bahwa kondisi sang Ibu dalam keadaan stabil dan akan dipindah ke kamar. Seorang perawat mengarahkanya untuk menuju kasir dan membayar uang jaminan bagi kamar yang akan ditempati sang Ibu. Ia berusaha memilih yang terbaik bagi sang Ibu             dan membayar uang jaminan kamar sebesar Rp7 jt.
Ketika mereka sudah berada di kamar rawat inap tersebut, sang Ibu memeluk si anak dan berkata,
” Terima kasih, nak. Kamu sudah memilihkan kamar yang baik buat Mamah, walaupun kamar ini  terlalu besar buat Mamah tempati.”
Si anak tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa Mah, yang penting Mamah cepat sembuh. Mohon doa, agar Allah memberi keluasan rezeki serta usaha saya dilapangkan oleh Allah.”
Jam 9.00 pagi hari itu juga, seorang kepala cabang sebuah Bank Syariah terbesar di tanah air menghubungi si anak. Pinjaman yang diajukannya lebih dari sebulan yang lalu telah disetujui. Ia diminta datang ke Bank tersebut secepatnya untuk menandatangani berkas-berkas menyangkut hal tersebut. Jumlah pinjaman yang disetujui adalah Rp700jt. Si anak yang saat itu masih berada di rumah sakit, langsung memeluk sang Ibu dan berkata,
“Alhamdulillah, Mah. Allah telah mengabulkan doa Mamah. Allah cepat sekali membalas kebaikan yang telah saya buat untuk Mamah.”
            Kini di tahun 2012, ketika si anak sedang bersimpuh diantara rakaat-rakaat tahajudnya di sajadah warisan sang Ibu  jauh di tengah malam yang sunyi, dua kisah di atas kembali terlintas dalam benaknya. Ikatan bathin yang ada diantara ia dan Ibunya begitu indah terjalin dan menjadi sumber kebaikan yang tak akan habis bagi keduanya.  Disamping itu, Sang Ibu telah mengajarkan sebuah filosofi hidup yang tak akan pernah ia lupakan. Sang Ibu mengajarkan kepadanya,

“Ingatlah bahwa kita selalu hidup diantara dua waktu shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita untuk melakukan segala aktivitas: Kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu, beristirahat dan segala hal yang dapat kita lakukan, tapi ketika waktu shalat telah tiba, tinggalkan hal itu semua untuk menghadap kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.”
Genangan airmata mulai membasahi wajah si anak seiring derai air hujan yang terdengar perlahan turun malam itu. Kini sang Ibu hidup berpisah alam dengannya. Lima tahun yang lalu Allah Azza wa Jalla memanggil sang Ibu. Tiada warisan yang lebih berharga daripada filosofi hidup yang telah diajarkan sang Ibu kepadanya dan sebuah sajadah yang kini selalu dipakai si anak dalam beribadah kepada Rabb-nya. Ia mengangkat tangannya dan berdoa,
            “Ya Rabb, begitu banyak kebaikan yang telah diberikan oleh Ibuku. Ampuni segala dosanya, balaslah segala kebaikan yang telah ia berikan kepadaku dengan balasan yang berlipat ganda dan tempatkan ia disisi-Mu bersama dengan hamba-hamba Engkau yang shaleh”
            Dari Abu Hurairah ra“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri

Sumber : https://mohammadyasserfachri.wordpress.com/2012/04/14/filosofi-hidup-seorang-ibu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar