Makna Filosofi Lilin,
Maukah Kamu Jadi Lilin?
Selama ini sebagian besar orang memahami lilin sebagai simbol filosofi hidup yang sia-sia. Hanya bisa menerangi sementara
dirinya sendiri hancur. Lalu muncul statement jangan hidup seperti lilin. Aku mungkin salah satu dari
sebagian kecil orang yang mencoba memahami filosofi lilin dengan perspektif
yang berbeda?
Ada cerita
tentang lilin. .
Ada empat buah lilin yang menyala,
sedikit demi sedikit habis meleleh, suasana begitu sunyi sehingga terdengar
percakapan mereka.
yang
pertama berkata:
AKU
ADALAH DAMAI, namun manusia tidak bisa menjagaku, maka lebih baik aku mematikan
diriku sendiri saja!!
Demikianlah
hingga sedikit demi sedikit sang lilin padam. .
yang kedua
berkata:
AKU
ADALAH IMAN, sayang, aku tidak berguna lagi. Manusia tidak mau mengenalku,
untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.
Begitu
selesei bicara tiupan angin memadamkannya.
Dengan
sedih giliran lilin ketiga berkata:
AKU
ADALAH CINTA.Tak mampu lagi aku tuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang
dan menganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci orang yang
mencintainya, membenci keluarganya.
Tanpa
menunggu waktu lama sang lilin kemudian padam.
tanpa
terduga. . Seorang anak masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga lilin telah
padam. Karena takut akan kegelapan ia kemudian berkata :
Eh? apa
yang terjadi?! Kalian harus tetap menyala, aku takut akan kegelapan.”
Lalu ia
menangis tersedu-sedu.
Lalu dengan
terharu lilin keempat berkata:
Jangan
takut, jangan menangis, selama aku ada dan menyala, kita dapat menyalakan
ketiga liiln lainnya. AKULAH HARAPAN.
Dengan mata
bersinar, sang anak mengambil lilin harapan, lalu mulai menyalakan ketiga lilin
lainnya.
Apa yang tidak akan pernah mati hanyalah harapan yang ada
dalam hati kita.dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang
anak tersebut, yang dalam situasi apapun dapat menghidupkan kembali iman,
damai, dan cinta. . Dengan harapannya. .
Lilin, ketika dirinya sendiri meleleh habis
terbakar setelah memancarkan cahaya menerangi kegelapan, sesungguhnya apa yang
terjadi bukanlah suatu kehancuran.
Melelehnya lilin itu pada hakikatnya adalah simbolisasi penyatuan jatidiri
dengan pancaran cahaya yang keluar dari api yang membakar dirinya sendiri,
itulah yang disebut sebagai puncak dari suatu hikmat pengorbanan yang tulus
tanpa pamrih. Hanya mereka yang mau berkorban dengan tulus tanpa pamrih seperti lilin yang akan berhasil mencapai puncak
kesadaran kosmik (pencerahan), suatu konsepsi kesadaran yang dibutuhkan sebagai
tiket menuju puncak kebahagiaan yang dicita-citakan oleh semua ummat manusia
dan bangsa-bangsa di dunia.
Lilin hanyalah sesuatu yang
sederhana, tetapi mampu memberi cahaya. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa ia
akan menyinari sekitarnya ketika dalam kegelapan. Untuk itu, ia harus
terbakar, meleleh, habis. Sayang, kemampuannya terbatas pada suatu sudut saja,
bercahaya pada titik tertentu. Namun, ketika ada sekumpulan lilin, maka suatu
tempat akan bersinar. Ketika ada lebih banyak lilin, maka daratan akan
berpijar.
Kita hanyalah manusia biasa, tetapi
mampu membawa pencerahan. Kita memberi pemahaman kepada mereka yang masih belum
mengerti, bukan menggarami lautan. Untuk itu, kita harus rela menanggung sakit,
berjuang sampai habis. Satu orang mungkin mampu membawa perbaikan pada
lingkungan tertentu. Namun, ketika sekelompok orang yang berusaha, perbaikan
tersebut akan kian nyata. Ketika ada semakin banyak orang, maka perbaikan
menjadi niscaya.
Menjadi lilin bukanlah pilihan yang
menyenangkan. Tapi paling tidak, menjadi lilin adalah pilihan yang gagah,
menerangi dan mencoba memberikan seberkas cahaya, meskipun cahaya itu akan
menghancurkan dirinya sendiri. Tapi bukankah untuk itu lilin itu ada dan dengan
begitu lilin itu berarti. Awal tujuan dari dibuatnya lilin itu adalah untuk
menerangi kegelapan.
Apalah
artinya lilin kalau nantinya hanya akan disimpan dan tubuhnya hancur menjadi
serpihan karna patah atau terinjak atau bahkan hancur dimakan zaman!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar