Senin, 19 Desember 2016

Al Falsafah Aula


AL-FALSAFAH AL-ULA
(Pemikiran al-Kindi, 801-873 M)
Oleh: Dr. Achmad Khudori Soleh, M.Ag
Buku “FILSAFAT ISLAM” Penerbit Arruzz Media, Yogyakarta, 2016
Menyelaraskan Agama & Filsafat.

Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat. Al-Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke dalam pemikiran Arab, sehingga diberi gelar “Filosof Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh (1923-2008 M), dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapi al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filosof dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.
Untuk mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal:
(1) menterjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke dalam bahasa Arab, seperti kata hyle diterjemahkan dengan thîn (tanah liat).
(2) mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah Yunani philosophos (filosof), falsafah untuk istilah philosophia (filsafat), fanthasiyah untuk istilah phantasia (fantasi).
 (3) menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau menjelaskan abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya, al-mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah itu?) untuk menjelaskan istilah Yunani to ti esti (esensi); al-huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untukmenjelaskan istilah Yunani to on (substansi).
(4) memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah dikenal.
Untuk menghadapi tantangan kedua, al-Kindi menyelesaikannya dengan cara menyelaraskan antara agama dan filsafat. Upaya untuk menyelaraskan agama dan filsafat ini sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan.
Pertama, membuat kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa bangsa Arab dan Yunani adalah bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling bermusuhan. Dalam kisah ini, misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi dari nama negeri Yunani) adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab. Dengan demikian, bangsa Yunani dan Arab berarti adalah saudara sepupu, sehingga mereka mestinya dapat saling melengkapi dan mencari kebenaran bersama meski masing-masing menggunakan jalannya sendiri-sendiri.
Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Dalam al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas al-Kindi menulis,
“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.

Pernyataan al-Kindi tersebut, sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Imam Ali ibn Abi Thalib (599-661 M), khalifah al-rasyidin yang keempat (656-661 M). Imam Ali menyatakan bahwa al-hikmah (pengetahuan atau kebenaran) adalah milik umat Islam yang tercerer, karena itu ia harus diambil di manapun ditemukan (al-hikmah dlâlah al-mu’minîn khudzû ainamâ wajadtumûhâ). Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi senantiasa menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan menentang kegiatan filosofis. Al-Kindi, dengan metode dialektika, mengajukan pertanyaan kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu juga jika menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan menyampaikan alasan dan argument tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filosofis dan berfilsafat. Artinya, filsafat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dihindari, karena sebagai sarana dan proses berpikir.
“Jika para penentang filsafat menyatakan bahwa filsafat adalah perlu, maka mereka harus mempelajarinya. Sebaliknya, jika mereka menyatakan tidak perlu, mereka harus memberikan argument untuk itu dan menjelaskannya. Padahal, pemberian argument dan penjelasan adalah bagian dari proses berpikir filosofis”.

Selain itu, menurut Atiyeh, dengan pembelaan model ketiga ini, al-Kindi ingin menunjukkan bahwa para filosof dan filsafat sesungguhnya tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dan agama; sebaliknya, justru memberi dukungan pada agama dengan argument-argumen yang rasional dan kokoh.
Secara historis, argumentasi tentang pentingnya filsafat seperti yang digunakan oleh al-Kindi tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau yang pertama. Menurut sejarah, Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang menggunakan argumen seperti itu untuk membela dan mendukung filsafat. Selanjutnya, digunakan oleh Markus Tullius Cicero (106-43 SM) dari Italia, kemudian Titus Flavius Clemens (150-215 M) dari Alexandria.Dalam Islam, setelah al-Kindi (801-873 M), argument seperti ini kemudian digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh filsafat Aristotelian asal Andalus (Spanyol).
Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis maupun teoritisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedang tujuan teoritisnya adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut al-Kindi, tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena keduanya mengarah kepada tujuan yang sama.
Persoalannya, jika benar bahwa agama dan filsafat mengarah pada tujuan yang sama, apakah hal itu berarti filsafat setaraf dengan agama? Dalam konteks pengetahuan, apakah pengetahuan rasional yang didasarkan atas akal dan filsafat setara dengan pengetahuan agama yang didasarkan atas wahyu?
Menurut Atiyeh (1923-2008 M), al-Kindi tampak tidak konsisten dalam menjawab persoalan tersebut. Pada satu tulisannya ia mempertahankan kepastian yang sama dan sederajat antara pengetahuan rasional filsafat dan pengetahuan kenabian; dalam tulisan lainnya memasukkan pengetahuan kenabian ke dalam pengetahuan rasional, tetapi dalam tulisan lainnya lagi justru menempatkan pengetahuan rasional filsafat di bawah pengetahuan kenabian.
Menurut penulis sendiri, sikap tidak konsisten yang ditunjukkan al-Kindi di atas, sesungguhnya, dikarenakan adanya kehati-hatiannya dalam menghadapi persoalan yang sensitive ini. Persoalan agama dan filsafat adalah dua hal yang sangat sensitive saat itu, bahkan sampai sekarang. Namun, al-Kindi tampak lebih cenderung untuk menempatkan pengetahuan rasional filosofis di bawah pengetahuan kenabian atau ilmu-ilmu keagamaan. Dalam Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-Falsafah (Jumlah Karya Aristoteles), al-Kindi menulis sebagai berikut: “Jika seseorang tidak memiliki ilmu pasti (ilm al-kammiyah) dan ilmu penalaran (ilm al-kaifiyah), maka ia tidak akan mendapatkan ilmu filosofis, yaitu pengetahuan insani (al-ulûm al-insâniyah) yang diperoleh lewat riset, upaya dan ketekunan; sebuah pengetahuan yang berada di bawah ilmu ilahiyah (al-ilm al-ilahy) yang diperoleh tanpa riset, upaya, ketekunan dan waktu, seperti pengetahuan para rasul yang diberikan secara langsung oleh Tuhan”.
Dengan konsep bahwa pengetahuan rasional filsafat di bawah ilmu-ilmu keagamaan, maka al-Kindi mendapat dua keuntungan sekaligus:
(1) ia tetap dapat menjaga dan mempertahankan filsafat dari serangan pihak-pihak yang tidak menyukainya;
(2) dapat meredam kemarahan atau serangan kaum agamawan yang mayoritas.
Pemikiran ini, pada masa berikutnya diikuti oleh al-Farabi (870-950 M). Menurutnya, agama dan filsafat adalah berasal dari sumber yang sama dan satu, sehingga posisi seorang filosof sesungguhnya juga tidak berbeda dengan seorang nabi; sama-sama menerima limpahan pengetahuan dari Intelek aktif (al-aql al-fa`âl) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Konsekuensinya, pengetahuan filosofis adalah sama posisinya dan sederajat dengan ilmu keagamaan. Akan tetapi, al-Farabi kemudian “meredam” kemungkinan gejolak dari persoalan tersebut dengan menyatakan bahwa kualitas diri filosof tidak sama dan tidak sebaik kualitas diri seorang Nabi, sehingga hasil pengetahuan rasional filosofis yang dihasilkan juga tidak setara dengan pengetahuan agama yang diterima oleh seorang Nabi.
Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras dengan pemikiran filosofis. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara memberikan makna alegoris (takwîl) terhadap teks-teks atau nash yang secara tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikiran rasional-filosofis. Misalnya, ketika dia diminta oleh Ahmad, putra khalifah al-Muktashim (833-842 M), untuk menjelaskan makna ayat“Bintang-bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya”, QS. Al-Rahman, 6. Kata “sujud” mengandung beberapa arti:
(1) sujud dalam shalat,
(2) kepatuhan atau ketaatan,
(3) perubahan dari ketidaksempurnaan kepada kesempurnaan, dan
(4) mengikuti aturan secara ihlas. Makna yang terakhir inilah yang digunakan al-Kindi untuk menjelaskan ayat di atas, sehingga sujud bintang-bintang dan pepohonan adalah dengan cara mematuhi perintah Tuhan, bukan sujud seperti dalam shalat.
Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah benar adanya dan dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di antara keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur’an dengan pemahaman filosofis, sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam memahami makna al-Qur’an. Secara jelas al-Kindi menulis,
“Semua ucapan Nabi Muhammad saw adalah benar adanya dan apa yang disampaikannnya dari wahyu Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan argument-argumen rasional filosofis. Hanya orang yang kehilangan akal sehat dan dipenuhi kebodohan yang menolaknya”.

Menurut Atiyeh, metode takwîl ini secara historis telah digunakan oleh tokoh-tokoh filsafat aliran Stoik, sebuah sekolah filsafat helenistik yang berusaha memadukan antara problem determinisme kosmik dengan kebebasan manusia, didirikan di Athena oleh Zeno (334-262 SM) dari Citium, Yunani; Philo Judaeus (20 SM-50 M) dari Alexandria, seorang tokoh teolog Yahudi yang berusaha mempertemukan antara filsafat dan ajaran Yahudi; dan Muktazilah, sebuah aliran teologi rasional dalam Islam yang dibangun oleh Washil ibn Atha’ (700-748 M). Akan tetapi, tafsir alegoris al-Kindi didasarkan atas prinsip-prinsip linguistic dan tata bahasa, sehingga berbeda dengan medel penafsiran kaum Stoik sebelumnya. Model tafsir al-Kindi ini lebih dekat dengan retorika teologi Muktazilah daripada filsafat. Pada fase-fase berikutnya, dalam sejarah filsafat Islam, penyelesaian dengantakwil ketika terjadi perbedaan antara teks agama dan pemahaman filsafat ini diikuti oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar