Bagaimana hubungan Anda dengan Tuhan (apakah Anda juga kenal)?
Lagi-lagi untuk menjawab pertanyaan ini saya harus mengandaikan beberapa syarat [catatan: saya harus selalu melakukan hal ini untuk menghindari kesimpang-siuran kategorisasi jawaban dan argumen saya nantinya ke dalam kelompok yang salah. Lagipula, saat ini, banyak sekali aliran filsafat yang pernah muncul tentang ketuhanan sehingga diperlukan syarat sebagai pengandaian untuk meluruskan posisi filosofis saya]. Pengandaian tersebut adalah: Pertama, Tuhan itu ada. Kedua, dengan cara-cara tertentu, saya bisa berhubungan dengan Tuhan. Ketiga, cara saya berinteraksi dengan Tuhan tidak sama dengan cara berinteraksi saya dengan manusia.
Bermodalkan tiga premis dasar di atas, saya menjawab bahwa hubungan saya, Anda, kita manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang bersifat transenden. Dalam hubungan ini, seperti yang dimodalisasikan oleh premis ketiga, kita tidak berinteraksi dengan Tuhan selayaknya kita berinteraksi dengan warga dunia. Kita melampaui semua batasan dan pengertian interaksi yang ada, dan keadaan melampaui yang demikian adalah keadaan yang transenden.
Lantas apakah karena transendensi/pelampauan yang demikian, kita harus melampaui diri kita sendiri untuk mencapai Tuhan? Lantas apa pula yang dimaksud dengan melampaui diri itu? Tanpa ingin berputar-putar tentang konsep transendensi dan pelampaun diri, saya akan langsung membuat sebuah batasan tegas tentang apa yang disebut transendensi diri dalam berhubungan dengan Tuhan. Menurut saya, dalam hubungan saya-Tuhan, melampaui diri saya sendiri adalah:
Jauh masuk ke wilayah hati/nurani/jiwa saya yang terdalam.
Melepaskan banalitas/ketidakberartian keseharian.
Fokus sepenuhnya terhadap apa yang kita lakukan dalam sarana berhubungan dengannya [entah itu berdo’a, menyebut nama-Nya dsb.]
Tiga jawaban di atas sekaligus bisa menjadi alasan mengapa Tuhan menyeru kita untuk beribadah dan berhubungan dengan Nya di malam hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar