Dalil Adanya Tuhan.
AL-FALSAFAH AL-ULA
(Pemikiran al-Kindi, 801-873 M)
Oleh: Dr. Achmad Khudori Soleh, M.Ag
Buku “FILSAFAT ISLAM” Penerbit Arruzz Media, Yogyakarta, 2016
Al-Kindi mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan adanya Tuhan, baik filosofis maupun teologis.
Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat. Sebagaimana telah dijelaskan, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta, dan sang pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan. Ketika Tuhan sebagai pencipta dan karya ciptaannya yang berupa semesta ini ada, maka Dia berarti ada.
Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab atas dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada sebelum dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah semesta. Artinya, jika semesta tidak dapat muncul karena dirinya sendiri berarti ia butuh sesuatu di luar dirinya untuk memunculkannya, dan itu adalah Tuhan.
Ketiga, berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos (manusia). Menurut Atiyeh (1923-2008 M), argumen ini didasarkan atas pemikiran kaum Stoik, sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang dibangun oleh Zeno (334-262 SM) pada tahun 301 SM di Athena; juga pemikiran Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 M). Menurut argumen ini, persis sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukkan adanya sang pengatur yang cerdas dan tidak kelihatan, yaitu jiwa, maka demikian juga dengan alam.
Perjalanan alam yang teratur, tertib dan selaras menunjukkan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Karena itu, ketika ditanyakan kepada al-Kindi, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Tuhan, ia menjawab bahwa persis seperti kita memahami adanya jiwa dengan memperhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang dapat diamati dari tubuh, maka begitu pula dengan Tuhan. Keberadaan-Nya dapat diketahui lewat efek-efek pengaturan-Nya yang bijak sebagaimana yang terwujud dalam semesta.36 Meski demikian, Atiyeh mengingatkan bahwa penggunaan analogi Stoik oleh al-Kindi tersebut bukan berarti ia sepakat dengan pandangan pantheism kaum Stoik, “satu ruh Ilahy dan imanensi Tuhan atas alam”.
Al-Kindi adalah seorang pendukung yang gigih atas paham transendensi dan kemaha-besaran Tuhan. Penerimaannya atas analogi Stoik lebih bersifat dan terbatas pada aspek metodologis, bukan metafisis.
Keempat, didasarkan atas argumen teleologis, yaitu dalil al-`inâyah. Dalil ini menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan melainkan pasti karena adanya tujuan dan maksud tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mengatur yang merupakan “pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari semua sebab”. Al-Kindi menulis,
“Susunan alam dan keteraturannya yang mengagumkan, di mana setiap bagian selaras dengan bagian lainnya, beberapa bagian tunduk pada pengaturan bagian lainnya; juga pengaturannya yang sempurna, di mana yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk senantiasa terbinasakan, semua adalah petunjuk yang paling baik dan jelas tentang adanya sistem pengaturan yang sangat cerdas, yang dengan demikian menunjukkan adanya Sang Maha Pengatur yang sangat cerdas”.
“Keteraturan, ketertiban dan keselarasan alam raya ini adalah wujud dari pengaturan-Nya yang bijak dan sempurna. Sungguh, kehidupan alam yang serba teratur dan bijak telah cukup (sebagai bukti tentang ada-Nya) bagi mereka yang mampu melihat dengan pikiran jernih”.
Argumen terakhir ini, oleh sebagian filosof, dianggap sebagai dalil paling efektif untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M),40 sedang dalam tradisi filsafat Barat dipakai oleh Immanuel Kant (1724–1804 M).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar