Senin, 26 Desember 2016

Epistemologi Sains

 Epistimologi Sains
Epistemologi adalah kajian tentang validitas dan batas-batas (limit) ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pikiran lainnya, atau dengan perkataan lain, Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena itu ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memilki sifat-sifat tertentu, maka ilmu juga dapat disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan ini, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “Ilmu/Sains” (Science) dan “Pengetahuan” (Know-ledge), maka kita mempergunakan istilah “Sains/Ilmu” untu ilmu pengetahuan.

II.4. Historis dan Perkembangan Sains
Sejak awal perkembangan ilmu pengetahuan yang secara jelas dimulai dari bangsa Mesir hingga mengalami pertumbuhan pesat di Eropa pada abad 16 dan hingga abad 20 saat ini, secara jelas terlihat adanya tanda-tanda kebenaran, bahwa bangsa-bangsa yang lebih awal mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan juga teknologi lebih maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang baru atau sedang mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kenyataan tersebut diatas memberikan isyarat bahwa terlepas dari berapa besar persentase kebenaran atau kesesuaian suatu ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu obyek, dia telah mampu membentuk peradaban manusia seperti apa yang kita miliki sekarang. Walaupun demikian, disadari pula bahwa untuk menemukan kebenaran sumber satu-satunya bukan hanya berasal dari ilmu pengetahuan.
Ditinjau dari segi perkembangannya, seperti juga semua unsur kebudayaan manusia, ilmu merupakan gabungan dari cara-cara manusia sebelumnya dalam mencari pengetahuan. Sedangkan ditinjau dari segi cara berpikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu Pola pertama berpikir secara Rasional, dikenal sebagai kaum rasional dan pola kedua berpikir secara empiris, dikenal sebagai kaum emperialis (antirasionalis).
Pola berpikir kaum rasionalis, diantaranya seperti Plato dan Rene Descrates bertumpuk dari aksioma dasar yang diturunkan dari ide tentang kebenaran yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui idea tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak pula mempelajari lewat pengalaman. Singkatnya, bahwa bagi kaum rasionalisme idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar bagi pengetahuannya diperoleh lewat berpikir secara rasional atau dengan kata lain kriteria kebenaran pengetahuan dikaitkan dengan kesesuaian antara pemikiran dengan kenyataan, terlepas dari pengalaman manusia. Sistem pengetahuan dibangun secara koheran diatas landasan-landasan pernyataan yang sudah pasti. Namun timbul pertanyaan, dari manakah kita mendapat kebenaran yang sudah pasti bila kebenaran itu tercerai dari pengalaman manusia yang nyata ?. Disinilah kaum rasionalis mulai menemukan kesulitan untuk mendapatkan konsensus yang dapat dijadikan landasan bagi kegiatan berpikir bersama. Disini terlihat bahwa tiap orang cenderung untuk percaya kepada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri. Lalu bagaimana kita bisa sampai pada suatu konsensus bila hanya berdasarkan apa yang dianggap benar oleh masing-masing ?. Kenyataan yang dihadapi, tidak hanya oleh para ilmuawan, bahwa betapa sukarnya untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat disetujui bersama bila hanya berdasarkan pada cara tersebut. Cara berpikir seperti ini akan menjerumuskan kita kedalam Silopsisme, yakni pengetahuan yang benar menurut anggapan kita masing-masing.
Dalam perkembangannya, kaum rasionalis dikritik oleh kaum antirasionalis. Kritit tersebut meliputi :
(1). Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat atau diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih lanjut, terdapat perbedaan yang nyata diantara kaum rasionalis itu sendiri mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato, St.Augustine dan Descrates mengembangkan teori-teori rasional secara sendiri-sendiri yang masing-masing berbeda.
(2). Teori rasional gagal dalam menjalankan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian, berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.
Seiring dengan berbagai kritik yang dilontarkan kepada kaum rasionalis, muncul suatu pola berpikir lain, yaitu emperisme yang merupakan cara berpikir yang sama sekali berlawanan dengan kaum rasionalisme. Kaum empiris, seperti John Locke (1632 –1704), David Hume (1711 –1776), George Berkeley (1685 – 1753), dan Immanuel Kant (1724 – 1804), yang bosan dengan debat yang tak berkesudahan, menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan pengetahuan. Alasan mereka adalah bahwa pengetahuan tidak ada secara apriori terdapat di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman. Teori pengetahuannya, terutama yang dikemukakan oleh Lock (bapak kaum empiris Inggris) didasarkan pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera kita. Dia memandang pikiran sebagai alat atau kertas lilin yang licin (tabula rasa) yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok (McCleary, 1998). (http://rudyct.com/PPS702-ipb/01101/FREDRIK.htm, diakses tgl 15 Maret 2010)
Teori empiris sendiri memiliki dua aspek. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Terdapat di alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua adalah kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik. Masalah yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu obyek atau kejadian ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar