Rabu, 28 Desember 2016

Hati Hati menjaga Hati

Hati-Hati Menjaga Hati

SEBAGIAN manusia di abad modern saat ini, sudah melupakan satu dari dua sisi hati yang membentuk eksistensinya. Manusia lebih melengkapi dirinya dengan kemajuan teknologi yang canggih dan berbagai ilmu pengetahuan yang eksperimental. Namun, menanggalkan nilai-nilai kebajikan yang sangat dibutuhkan oleh ruh dan jiwanya. Pondasi kerohanian menjadi rapuh lantaran digerogoti hawa nafsu yang menistakan.

Dalam memahami konsep hati, perlu dibedakan hati dalam arti fisik dan hati dalam arti rohani. Hati dalam arti fisik yaitu daging sanubari, daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di rongga dada sebelah kiri, yang berisi darah hitam kental sebagai sumber nyawa seseorang.

Adalah mudghoh (segumpal darah) sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW yang sangat berpengaruh bagi kesehatan diri setiap manusia. Apabila kondisi segumpal darah itu baik, maka akan baiklah seluruh bagian tubuhnya. Sebaliknya, apabila segumpal darah itu rusak, maka akan rusaklah seluruh bagian tubuh tersebut.

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai makna kata mudghoh. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai organ bagian dalam manusia yang disebut liver. Namun, mayoritas ulama berpendapat dengan menafsirkannya sebagai jantung dalam organ tubuh manusia.

Terlepas dari perbedaan itu, hadits di atas memiliki kedalaman makna. Dzahir dimaknai fisik yang penting dalam organ tubuh manusia karena menyangkut nyawa seseorang dan makna bathin berupa rohaninya, sebagai cermin kepribadian manusia.

Mulla Shadr, seorang filosof muslim menjelaskan bahwa hati dalam pengertian rohani memiliki tiga macam kategori. Di mana antara manusia yang satu dengan manusia lainnya bisa saja berada dalam kategori yang berbeda.

Pertama, yang disebut dengan Qalb. Sesuai makna katanya yaitu: “bolak balik” atau memiliki sifat yang tidak stabil. Selalu memiliki potensi yang saling bertolak belakang, terjadi tarik menarik antara dua kutub yang saling bertentangan. Dua potensi itu adalah hal yang mengajak kepada kebaikan atau keburukan, ketaatan ataupun kemaksiatan.

Hati yang sehat adalah hati yang selalu memberikan potensi yang baik, menggerakkan kepada hal yang positif. Hati yang penuh dengan cahaya keimanan, yang akan membuat seseorang untuk memberi manfaat kepada sesama dan menjauhkannya dari perbuatan yang merugikan sesama.

Seorang muslim sejati seharusnya menghiasai hari-harinya dengan sesuatu yang membawa manfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk tabungan kehidupan di akhirat nanti. Begitupun sebaliknya, hati seseorang yang terdapat penyakit hatinya akan menggerakkan perilakunya kepada hal-hal yang negatif dan menjerumuskan kepada keburukan dan kemaksiatan.

Seringkali hati manusia berada dalam kondisi tarik menarik antara yang hak dengan yang batil. Di satu sisi manusia sering berbuat kebaikan. Di sisi lain, kemaksiatan juga masih sering dilakukan. Terkadang, dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul keinginan untuk melakukan kecurangan setiap kali ada kesempatan, meski di saat yang sama juga masih teringat akan dosa.

Pada akhirnya, manusia menjadi bingung dan ragu-ragu apakah mau melakukan atau tidak. Di sini, terjadi tarik menarik antara qalb dan nafsu. Karenanya, seorang muslim dianjurkan agar di dalam shalat pada akhir bacaan tasyahud akhir sebelum mengucapkan salam untuk memohon kepada Allah SWT dengan do’a, "Duhai Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, mantapkanlah hati kami dalam meniti ajaran agama-Mu dan tunduk dalam taat kepada-Mu (Yaa muqalliba al-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika wa ‘alaa thaa’atika).

Kedua, kategori hati yang disebut Al Fuad. Makna Al Fuad lebih dekat kepada makna akal, yaitu hati yang mampu mempertimbangkan secara matang, sisi baik dan sisi buruk dari setiap perbuatan dan tindakan. Hati yang berani secara tegas memilih jalan kebaikan dan meninggalkan keburukan, hati yang lebih mengedepankan suara kebenaran dan menanggalkan kebatilan.

Ketiga, kategori hati Al-Lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, di mana setiap kebaikan yang dilakukan adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam dunia tasawuf kategori hati seperti ini sering disebut dengan istilah singgasana Allah (baitullah). Para sufi memberikan makna kiasan (majazi) dalam pemaknaannya, yang pada dasarnya sangat berbeda antara baitullah yang ada dalam diri manusia dengan baitullah dalam pengertian Ka’bah yang menjadi kiblat, sekaligus pusat kegiatan ritual ibadah haji.



Seorang muslim yang telah melaksanakan haji ke Tanah Suci Mekkah, dapat mengambil pelajaran berharga dari ibadahnya itu. Selain untuk memenuhi kewajiban syar’i, perjalanan haji yang lebih hakiki sesungguhnya adalah perjalanan masuk ke dalam dirinya sendiri untuk menghidupkan lub atau hati nurani sehingga hatinya terisi oleh pancaran cahaya Ilahi.

Demikian pula bagi yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syar’i, masih ada kesempatan untuk mencapai derajat haji secara hakiki, yaitu dengan senantiasa melatih diri agar hatinya sampai pada derajat kategori yang paling tinggi, yaitu lub yang tak lain merupakan baitullah.

Sehingga hati penuh dengan pancaran cahaya Ilahi, hati yang telah betul-betul mengenal Tuhannya dengan baik. Dalam konteks ini, hujjatul Islam, Imam Al Ghazali RA menyatakan, "Man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mampu mengenali dirinya (yaitu, hatinya telah sampai pada kategori lub), maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya).

Sikap produktif seseorang dalam menjalankan nilai kebaikan dan kebajikan tidak mungkin dapat diraihnya apabila dalam kondisi hatinya yang dipenuhi dengan kedengkian, kebencian, kedzaliman, dan kegelapan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai anakku, apabila kamu mampu pada setiap pagi dan sore dan hati kamu tidak terdapat kebencian terhadap seorang pun, maka lakukanlah. Karena yang demikian itu adalah termasuk dari sunnahku, dan barang siapa menghidupkan sunnahku, maka dia mencintaiku. Barang siapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.”

Karenanya, seorang muslim harus berhati-hati dalam menjaga hatinya, dengan menjauhkan dari segala bentuk penyakit hati rohani seperti ghibah, buhtan, iri hati, dengki, hasud, sombong, dan berbagai penyakit hati lainnya yang bersumber dari lubuk hati ruhaninya.

Ghibah sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW adalah menceritakan hal-hal seseorang yang tidak disukai, kemudian diceritakan kepada orang lain--walaupun cerita itu, diragukan kebenarannya. Bila cerita itu tidak benar, maka itu disebut sebagai buhtan (tuduhan palsu atau fitnah) dan itu lebih besar dosa dan ganjarannya.

Ghibah itu sangat besar dosanya. Cara bertaubatnya, selain memohon ampunan kepada Allah SWT juga harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya. Tetapi, kalau tidak memungkinkan, maka wajib baginya bertaubat kepada Allah SWT dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang digunjingkannya itu di tempat-tempat yang pernah ia mengunjing orang itu.

Begitu keras larangan untuk bergunjing, sampai orang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Karena ghibah memiliki dampak negatif yang sangat besar dalam kehidupan, bagaikan virus yang dengan cepat dapat mematikan.

Begitu juga dengan penyakit hati rohani lainnya, semua adalah bencana dan kejahatan yang tidak manusiawi yang menjerumuskan pelakunya kepada jurang kenistaan, baik di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, ada sifat iri hati, dengki, dan hasut yang dibolehkan dalam ajaran Islam.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Hasut tidak diperbolehkan, kecuali dalam dua hal, iri hati kepada orang yang dianugerahi Allah berupa harta yang banyak, lalu digunakan untuk kepentingan kebenaran dan iri hati kepada orang yang dianugerahi Allah banyak ilmu, lalu ia mengamalkan ilmu itu dan mengajarkan kepada orang lain.”

Hati memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karenanya, hati secara fisik maupun rohani perlu untuk dijaga secara ekstra hati-hati. Menjaganya dengan pola hidup yang sehat sesuai tuntunan dari Rasulullah SAW, berdzikir mengingat Allah SWT Sang Pencipta Kehidupan Yang Maha membolak-balikkan hati dengan menjalankan segala bentuk perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, shalat fardhu dan menjalankan shalat sunnah, membaca dan mentadabburi makna isi kandungan Al Qur’an. Karena hati adalah organ manusia yang penuh dengan pancaran cahaya Ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT melebihi anugerah apapun.

Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi, bila hati yang di miliki tumpul, gersang, tandus, keras, tidak terisi pancaran cahaya Ilahi.  Shaleh bin Abdul Qudus memberikan nasihat dalam syairnya, “Berusahalah untuk tidak melukai hati, karena tidaklah mudah memulihkannya bila telah terluka.”

Mahmud Sami Basya Al Barudi juga memberikan nasihat dalam pujangganya, “Tinggalkanlah apa yang meragukan dan ambillah apa yang telah diciptakan untukmu, semoga hatimu yang beriman dapat mengambil manfaat.”

Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah dan inayah-Nya kepada manusia sehingga dapat berhati-hati dalam menjaga hatinya, baik dalam wujud fisik maupun rohani, seraya mengangkat tangan, berdoa kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Amin Yaa Rabbal Aalamiin.

Anwar Rizqi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar