Anda kenal diri Anda (siapa Anda sebenarnya)?
Salah satu ciri dari pertanyaan filosofis yang melekat pada jawaban pertanyaannya adalah jawaban pertanyaan tersebut tidak bisa dirangkai secara spontan layaknya merangkai huruf, kata, dan bai menjadi puisi. Dan salah satu pertanyaan filosofis yang membungkan sikap impulsif kita ketika hendak menjawab adalah pertanyaan mendasar tentang masalah eksistensi manusia: siapakah saya?
Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Bertanya “Siapakah Saya?” Kepada Orang Lain
Sejujurnya saya tidak bisa berkata tidak tertarik kala menghadapi pertanyaan ini sekalipun selama ini saya selalu menyerahkan hak untuk menjawab pertanyaan ini kepada orang-orang terdekat saya. Agaknya saya masih memercayai orang lain untuk menjawab pertanyaan yang pelik ini. Namun, kegamangan akan terasa di hati ketika saya menyadari bahwa saya-lah yang memilih orang-orang tersebut untuk menjawab pertanyaan ini untuk saya. Dengan kata lain, secara tidak langsung, saya-lah orang yang menjawab pertanyaan paling mendasar dalam lautan eksistensi manusia ini. Dengan demikian, menyerahkan jawaban pertanyaan siapakah saya? Kepada orang lain bukanlah suatu pilihan yang tepat untuk menjawab masalah filosofis ini.
Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Menggunakan Bahasa Metaforis
Selain mode pertama, seringkali saya menjawab pertanyaan siapakah saya? Melalui bahasa-bahasa metaforis. Walaupun tidak bisa dianggap salah, menjawab pertanyaan siapakah saya? Dengan cara yang demikian bisa mengaburkan tujuan kita yang sebenarnya dari mendapatkan jawaban filosofis yang konsisten menjadi mendapatkan karya sastra yang indah. Dalam hal ini, saya tidak mengolok-olok para penyair sebagai para pemikir yang tidak filosofis atau bahkan tidak konsisten. Saya hanya ingin menekankan sifat ketidakpastian atau multi-interprestasi dari bahasa metaforis itu sendiri yang akan mengakibatkan jawaban akan menjadi ngawur dan tidak beraturan.
Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Pendekatan Birokratis
Harus diakui bahwa pendekatan birokratis merupakan jawaban yang paling banyak dipilih oleh kita semua ketika dihadapkan kepada pertanyaan siapakah saya? Mengapa disebut pendekatan birokratis? Bagi saya itu hanya sekadar istilah yang mengingatkan kita kepada proses birokrasi yang kita jalani untuk menjawab pertanyaan siapakah saya? Lalu apa sebenarnya jawaban yang birokratis itu? Sederhana saja, bila saya ditanya siapakah saya? Maka saya akan menjawab: saya bernama X tinggal di Y anak dari Z. Ya, benar-benar jawaban yang lahir dari rentetan peristiwa birokrasi dan administrasi. Pembuatan akta kelahiran, KTP, SIM dan kartu identitas lainnya.
Menjawab “Siapakah Saya?” Dengan Analisis Filsafat Eksistensi
Melampaui semua variasi jawaban yang saya tawarkan sebelumnya, menjawab pertanyaan siapakah saya? Dengan analisis filsafat eksistensi merupakan hal yang paling logis dan sekaligus – bagi saya – hal yang paling menarik. Saya sebut paling logis karena aliran filsafat ini memang didedikasikan untuk menjawab pertanyaan siapakah saya? Dan saya sebut paling menarik karena dengan pendekatan ala filsafat eksistensi, saya dapat menelanjangi diri saya seutuhnya hingga ke bagian terdalam diri yang tidak pernah terjamah.
Dan dengan menggunakan pendekatan filsafat eksistensi, saya sendiri lebih suka menjawab pertanyaan siapakah saya? Dengan jawaban yang kira-kira seperti ini: Saya adalah segala sesuatu (apa saja) yang saya alami. Tidak penting apa sebenarnya saya atau apa kodrat inheren saya, yang terpenting adalah saya pernah, sedang, dan akan mengalami. Mengalami apa? Segala sesuatu yang berada di luar diri saya.
Jawaban tersebut, bisa dibilang, bukanlah jawaban yang terdengar komprehensif dan memuaskan. Akan tetapi, sebagai landasan berkehidupan, jawaban di atas, saya rasa, adalah jawaban yang baik. Siapakah saya? Saya adalah saya yang mengalami. Dengan kata lain, saya belum selesai, masih banyak hal yang belum saya lakukan. Siapakah saya? Saya adalah saya yang bertindak, bertindak, dan terus bertindak. Siapakah saya? Saya adalah pertumbuhan yang senantiasa dan harus selalu bertumbuh. Pendalaman yang lebih dalam tentang kompleksitas jawaban siapakah saya? Akan saya bahas nanti di bagian jawaban pertanyaan nomor tiga.
Terdiri dari unsur apa sajakah Anda?
Tatkala saya memikirkan jawaban dari pertanyaan ini, mau-tidak-mau, saya harus berpikir tentang ilmu kimia. Dahulu kala, para filsuf-filsuf pertama yang berorientasi ke arah filsafat alam pernah berusaha menjawab pertanyaan ini. Dan bila saya bandingkan jawaban pertanyaan saya dengan jawaban para ahli kimia, jujur, saya lebih menaruh respek terhadap jawaban para ahli kimia. Oleh karenanya, saya mohon maaf bila kali ini saya menggunakan pendekatan kimiawi untuk menjawab pertanyaan ini.
Saya, Anda, kita manusia, menurut ilmu kimia terdiri dari beberapa unsur dan senyawa dasar. Kita terdiri dari air yang cukup untuk mengisi satu botol sedang aqua, besi yang cukup untuk membuat satu buah paku berukuran sedang, karbon yang berguna untuk membuat beberapa lembar plastik dsb. Dan menurut estimasi ahli kimia, jika barang-barang yang dihasilkan dari unsur tersebut dihitung secara ekonomis. Maka harga total barang tadi atau harga total “tubuh kita” adalah 7.000 rupiah.
Baiklah, di sini, bisa saja saya menjawab pertanyaan terdiri dari unsur apa sajakah saya? Dengan bermodalkan postulasi-postulasi filsafat abad pertengahan yang digawangi Descrates yang sudah jauh lebih maju dengan jawaban para filsuf alam di awal kemunculan filsafat. Namun, kata unsur yang mulai diambil ranah eksistensi oleh bidang ilmu kimia sedikit menyurutkan niat saya untuk menjawabnya secara filosofis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar