Dimanakah Anda semestinya (hakikatnya)?
Nah, sekarang mungkin saat yang lebih tepat untuk menggunakan konsep filsafat abad pertengahan untuk menjawab pertanyaan: Apa hakikat diri saya? [catatan: sebenarnya saya mengalami kesulitan dalam menginterprestasi pertanyaan Anda yang menggunakan kata tanya di mana sementara dalam tanda kurung Anda menuliskan kata hakikat. Dalam filsafat pertanyaan tentang hakikat diri lebih umum dari pertanyaan tentang tempat seseorang berada. Oleh karenanya, saya menginterprestasi pertanyaan Anda menjadi apa hakikat diri saya?].
Seperti yang saya utarakan tadi, pertanyaan apa hakikat diri saya? Mulai mengemuka secara luas pada masa filsafat abad pertengahan. Rene Descrates adalah orang yang bertanggung jawab terhadap mengemukanya pertanyaan ini. Descrates membuat suatu distingsi kaku bahwa diri terdiri dari pikiran/jiwa dan tubuh, yang keduanya benar-benar berbeda secara esensial. Di sini, saya tidak akan mencoba mengkritik konsep yang ditawarkan Descrates. Konsep tersebut, sekalipun terdengar sederhana, merupakan konsep yang melandasi banyak pemikiran filsafat pada abad selanjutnya mulai dari Hume sampai Kant.
Beralih ke konsep saya sendiri, saya menilai bahwa hakikat/esensi diri saya yang terpenting bukanlah jiwa, tubuh, jiwa-tubuh, ruh, atau bahkan jiwa-tubuh-ruh. Saya menyebut hakikat diri saya sebagai ke-kini-an atau ke-di sini-an saya. Bila saya menyebut jiwa, ruh, tubuh atau bahkan gabungan dari ketiga elemen tersebut sebagai hakikat saya, tidak-lain-tidak-bukan, saya menyebut bagian-bagian eksistensi saya sendiri sebagai esensi saya. Namun, manakala saya menyebut bahwa ke-kini-an dan ke-di sini-an sebagai esensi saya maka saya menyebut seluruh proses kehidupan saya mulai dari tubuh yang terberi (given) sampai saya yang sekarang telah menjadi esensi atau sesuatu yang inheren dalam tubuh saya. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, saya bisa menyebut kalau kehidupan sayalah yang menjadi esensi saya. Pilihan-pilihan saya-lah yang menjadi esensi/hakikat saya.
Pendapat saya ini, saya rasa, sangat selaras dengan konsep beragama. Agama mengajarkan bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita lakukan. Mendapatkan apa yang menjadi esensi kita. Bila yang kita lakukan baik/esensi kita baik maka balasan yang kita terima baik, dan sebaliknya. Dalam filsafat, konsep yang saya anut ini juga dianut oleh seorang filsuf Denmark bernama Kierkegard. Kierkegard adalah filsuf yang menimbang esensinya sebagai apa-apa yang telah ia pilih dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar