. Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu secara umum dapat difahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan kharakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara itu, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Secara sederhana, filsafat dapat diartikan sebagai berfikir menurut tata tertib dengan bebas dan sedalam-dalamnya, sehingga sampai kedasar suatu persoalan, yakni berfikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskriptif, evaluatif, interpretatif dan spekulatif. Sejalan dengan ini, Musa Asy’ari menyatakan bahwa filsafat adalah berfikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalang-halangi kerja pikiran. Radikal artinya berfikir sampai ke akar-akar masalah (mendalam) bahkan sampai melewati batas-batas fisik atau yang disebut metafisis. Sedang berfikir dalam tahap makna berarti menemukan makna terdalam dari suatu yang terkandung didalamnya. Makna tersebut bisa berupa nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan maupun kebaikan.
Menurut M.Amin Abdullah, filsafat bisa diartikan:
(1) sebagai aliran atau hasil pemikiran, yakni berupa sistem pemikiran yang konsisten dan dalam tarap tertentu sebagai sisten tertutup (closed system),
(2) sebagai metode berfikir, yang dapat dicirikan: a) mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), b) membentuk cara berfikir kritis (critical thought), dan c) menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom). Sebagai sebuah cabang filsafat, kurang lebih sudut pandang inilah, filsafat ilmu melihat ilmu-ilmu sebagai obyek kajiannya. Karenanya filsfat ilmu bisa juga disebut sebagai bidang yang unik, sebab yang dipelajari adalah dirinya sendiri.
Para ahli tampak beraneka ragam dalam memberikan definisi tentang filsafat ilmu, antara lain: Lewis White Beck menulis, “Philosophy of science questions and evaluetes the methods of scientific thinking tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.” Peter A. Angeles, sebagaimana di kutip The Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi, sejarah ilmu dan lain-lain. Sementara itu Cornelis A Benyamin mendefinisikan filsafat ilmu sebagai disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar-dasar ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan metode-metode, konsep-konsep, praduga-praduganya, serta posisinya dalam kerangka umum cabang-cabang intelektual.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat difahami bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif, radikal dan mendasar atas berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan dan hubungannya dengan segala segi kehidupan manusia.
C. Obyek Filsafat Ilmu
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh adalah obyek material ilmu kedokteran. Adapun obyek formalnya adalah metode untuk memahami obyek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Secara sederhana dapat digambarkan dengan diagram dibawah ini:
Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal juga memilikiobyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik mencakup ada yang tampak maupun ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedang ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosuf membagi obyek material filsafat atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam alam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.
(2)
Dalam perspektif ini dapat penulis uraikan bahwa filsafat ilmu pada prinsipnya memiliki dua obyek substantif dan dua obyek instrumentatif, yaitu:
1. Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal:
a. Fakta (Kenyataan), yaitu empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Dalam memahami fakta (kenyataan ini ada beberapa aliran filsafat yang meberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya adalah:
Positivisme:
- Ia hanya mengakui penghayatan yang empirik dan sensual
- Sesuatu sebagai fakta apabila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang sensual lainnya
- Data empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti
- Fakta itu yang faktual ada Phenomenologi:
- Fakta bukan sekedar data empirik sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektifitas disini tidak berarti sesuai selera peneliti, subyektif disini dalam arti tetap selektif sejak dari pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan.. Data selektifnya mungkin berupa ide , moral dan lain-lain.
- Orang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki
- Kenyataan itu terkonstruk dalam moral.
Realisme:
- Sesuatu itu sebagai nyata apabila ada korespondensi dan koherensi antara empiri dengan skema rasional.
- Mataphisik sesuatu sebagai nyata apabila ada koherensi antara empiri dengan yang obyektif universal
- Yang nyata itu yang riil exsist dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif
- Empiri bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu, yang mungkin memiliki makna lebih dalam yang beragam.
- Empiri dalam realisme memang mengenai hal yang riil dan memang secara substantif ada
- Dalam realisme metaphisik skema rasional dan paradigma rasional penting
- Empiri yang substantif riil baru dinyatakan ada apabila ada koherensi yang obyektif universal
Pragmatis: Yang ada itu yang berfungsi, sehingga sesuatu itu dianggap ada apabila berfungsi. Sesuatu yang tidak berfungsi keberadaannya dianggap tidak ada
Rasionalistik : Yang nyata ada itu yang nyata ada, cocok dengan akal dan dapat dibuktikan secara rasional atas keberadaanya
b. Kebenaran Positivisme:
- Benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuatu dengan empiri sensual
- Kebenaran pisitivistik didasarkan pada diketemukannya frekwensi tinggi atau variansi besar
- Bagi positivisme sesuatu itu benar apabila ada korespondensi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain Phenomenologi:
-Kebenaran dibuktikan berdasarkan diketemukannya yang esensial, pilah dari yang non esensial atau eksemplar dan sesuai dengan skema moral tertentu
- Secara esensial dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi
- Bagi phenomenologi, phenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercaya.
Realisme Metaphisik : Ia mengakui kebenaran bila yang faktual itu koheren dengan kebenaran obyektif universal
Realisme :
- Sesuatu itu benar apabila didukung teori dan ada faktanya
- Realisme baru menuntut adanya konstruk teori (yang disusun deduktif probabilisti) dan adanya empiri teerkonstruk pula
Islam: Sesuatu itu benar apabila yang empirik faktual koheren dengan kebenaran transenden berupa wahyu
Pragamatisme : Mengakui kebenaran apabila faktual berfungsi
(3)
Rumusan substantif tentang kebenaran ada beberapa teori, menurut Michael Williams ada lima teori kebenaran, yaitu:
1. Kebenaran Preposisi, yaitu teori kebenaran yang didasarkan pada kebenaran proposisinya baik proposisi formal maupun proposisi materialnya.
2. Kebenaran Korespondensi, teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan fakta yang lain). Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori Kebenaran Struktural Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada upaya mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur teori (struktur ilmu/structure of science) tertentu yang kokoh untuk menyederhanakan yang kompleks atau sering
3. Kebenaran Koherensi atau Konsistensi, yaitu teori kebenaran yang medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
4. Kebenaran Performatif, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
5. Kebenaran Pragmatik, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu benar apabila mempunyai kegunaan praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.
2. Obyek Instrumentatif yang terdiri dari dua hal:
a. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam ontologi dikenal pembuktian a priori dan a posteriori. Untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi para ahli mendasarkan pada dua aspek: (1) Aspek Kuantitatif; (2) Aspek Kualitatif.
Dalam hal konfirmasi, sampai saat ini dikenal ada tiga teori konfirmasi, yaitu:
° Decision Theory, menerapkan kepastian berdasar keputusan apakah hubungan antara hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual.
° Estimation Theory, menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar – salah dengan menggunakan konsep probabilitas
° Reliability Analysis, menetapkan kepastian dengan mencermati stabilitas evidensi (yang mungkin berubah-ubah karena kondisi atau karena hal lain) terhadap hipotesis
b. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu :
Principium Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah), dan Principium Exclutii Tertii ((Qanun Imtina’). Logika ini sering juga disebut dengan logika Inferensi karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut adalah untuk membuat dan menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya Logika Aristoteles juga sering disebut dengan logika tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar