Minggu, 25 Desember 2016

Bagaimana cara kita berfilsafat?

Bagaimana cara kita berfilsafat?
Anggaplah filsafat bukan barang suci yang sakralkan. Ia hanya pemikiran biasa dari orang biasa yang bisa kita gugat, dipertanyakan ulang.
“Jika orang menginginkan suatu filsafat sebagai suatu system prinsip-prinsip yang menghasilkan kesimpulan kesimpulan yang kebenarannya sangat pasti, maka hal itu adalah suatu yang mustahil”.
Filsafat bukan pemikiran yang selesai, ia bahkan selalu menyisakan pertanyaan baru yang membuat kita dipaksa terlibat, yakinlah bahwa dalam filsafat  kita jarang atau tidak pernah mendapatkan pemecahan yang tuntas atas pertanyaan yang diajukan.
Filsafat adalah pemikiran yang mengundang kita untuk selalu terlibat langsung. Banyak sekali filsafat yang maksudnya agar kita meneruskan apa yang telah dimulainya. Dengan demikian jangan sungkan sungkan untuk tidak sependapat, tuliskan pendapat dan sanggahan anda dan ujilah kebenaran yang dikemukakan oleh filsuf itu. Alfred Ayerpernah menyarankan untuk menjadikan pemikiran seseorang sebagai latihan berfilsafat.
Agar bisa menguji dengan baik kita juga perlu harus menunda apa yang semula kita yakini. Dengan cara ini, kita tidak berperang sendirian. Jika dalam pemikiran masih ada keyakinan lama dan itu jadi ukuran , kita tak akan menemukan mutiara yang ditawarkan oleh orang lain. Rasakan dulu tanpa prasangka , baru setelah itu dibandingkan. Serentak dalam perbandingan itu, kita telah melakukan pengujian secara langsung.
Seseorang pembelajaran filsafat tidak pernah merasa benar sendiri, telah benar dan tak mungkin salah .
“Tidak ada yang kurang pantas bagi seorang filsuf  selain daripada mau benar sendiri dalam diskusi dan dalam berargumentasi. Mereka benar sendiri –sampai bentuk refleksi logisnya yang paling halus- adalah pengungkapan jiwa mempertahankan diri, yang justru menjadi tujuan  seorang filsuf untuk menghapuskannya.”

Menekankan bahwa inti berfilsafat adalah pertanyaan dan terakhir member peluang bagi kita semua untuk terlibat. Maksudnya,
Satu pemikiran akan diletakan dalam kaitannya dalam situasi yang menyebabkan (pemikiran dan situasi zaman sebelumnya) dan situasi yang diakibatkannya (situasi yang muncul sesudahnya).
Setiap pemikir diletakkan dalam drama pencarian drama pencarian jawaban atas pertanyaan pemikir sebelumnya. Ikhtiar yang bermula dari pertanyan lain (yang mempertegas atau menambahkan pertanyaan utama) lalu merumuskan dengan cara baru, namun juga akan dikritisi dan direvisi pemikir sesudahnya. Dengan cara ini kita akan menemukan kehebatan seorang filsuf sekaligus kelemahannya .
Setiap pemikir , diupayakan , dikaitkan dengan situasi zamannya serta kemungkinan bagi aplikasi zaman ini
Dalam kaitan sejarah inilah ungkapan NeilPostman dapat dikemukakan, bahwa setiap tokoh dalam sejarah pemikiran ditampilkan sebagai pembuat kesalahan yang besar sekaligus pengoreksi kesalahan besar.
“Karena kita adalah jiwa yang tidak sempurna, maka pengetahuan kita juga tidak sempurna. Sejarah tentang proses belajar adlah sebuah petualangan utnuk mengatasi kesalahan kita. Tidak ada dosa yang berbuat salah Dosa itu ada pada ketidakmauan kita menguji kepercayaan, dan mempercayai bahwa kemamuan kita tidak bisa salah”.
Annes, Bambang. 2009. Filsafat untuk Umum. Bandung: Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar