Rabu, 28 Desember 2016

Wilayah Filsafat Matematika

Wilayah Filsafat matematika
Ada tiga hal yang dianggap penting dalam filsafat dan pendidikan. Setiap masalah digambarkan dalam bentuk sebuah dikotomi yang selalu berisi perbandingan pemikiran sudut pandang filsafat yaitu absolutis dan fallibilis.
Pertama, sebagai produk akhir yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk dalil-dalil dengan kegiatan memahami atau kegiatan mencari pengetahuan. Yang terakhir berhubungan dengan asal-usul pengetahuan dan dengan keterlibatan manusia dalam penciptaannya.
Pandangan absolutis terfokus pada yang pertama yaitu produk akhir yang sudah selesai beserta dasar-dasar kebenarannya. Pandangan filsafat absolutis tidak hanya terfokus pada pengetahuan sebagai produk objektif, akan tetapi sering bertolak belakang dengan keabsahan filsafat terkait dengan asal usul pengetahuan dan cenderung berada dalam wilayah ilmu psikologi dan ilmu sosial. Berbeda dengan aliran konstruktifisme yang elemennya mencari tahu dalam bentuk yang telah ada.
Pandangan fallibilis terkait dengan hakikat matematika mencari tahu atau memahami kesalahan dalam matematika, Pandangan fallibilis tidak dapat terlepas dari pemikiran untuk mengganti teori dan mengembangkan pengetahuan. Pada intinya pandangan seperti ini sangat berhubungan dengan konteks penciptaan pengetahuan dan asal-usul sejarah matematika, Pandangan ini bisa dikatakan mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang baik tentang matematika secara utuh.
Kedua, ada perbedaan antara matematika sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri dan bebas dengan matematika sebagai sesuatu yang berhubungan yang tidak dapat dipisahkan dari jaringan ilmu pengetahuan manusia.
Absolutis matematika menyebutnya sebagai status unik dengan mengatakan bahwa matematika adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pembuktian-pembuktian yang kuat. Kondisi ini disertai dengan perbedaan pandangan yang terkait dengan relefansi sejarah atau konteks manusia, ini semakin menguatkan bahwa matematika adalah ilmu disiplin yang terpisah dan berdiri sendiri.
Fallibilis lebih banyak berada didalam wilayah filsafat matematika. Karena matematika dipandang tidak absolute, maka matematika tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan empiris, ilmu pengetahuan fisik dan ilmu lainnya. Karena aliran fallibilism termasuk kedalam asal usul (terciptanya) pengetahuan matematika dan juga produknya, maka matematika dipandang sebagai bagian yang menyatu dengan sejarah dan kehidupan manusia.
Jadi lebih banyak lagi harus berada dalam lingkup filsafat matematika dari hanya sekedar diberikan pembuktian terhadap pengetahuan matematika, yang disediakan melalui rekonstruksi oleh program foundationist. Matematika adalah beragam, dan sebagai serta tubuh pengetahuan preposisi, dapat dijelaskan dalam hal konsep, karakteristik, sejarah dan praktik. Filosofi matematika harus memperhitungkan kompleksitas ini, dan kami juga perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. Apa tujuan matematika? Apa peran manusia dalam matematika? Bagaimana apakah pengetahuan subjektif dari individu menjadi pengetahuan tujuan matematika? Bagaimana pengetahuan matematika berkembang? Bagaimana sejarahnya menerangi filosofi matematika? apa hubungan antara matematika dan area lain dari pengetahuan dan pengalaman manusia? Mengapa teori matematika murni terbukti menjadi begitu kuat dan berguna dalam mereka aplikasi untuk ilmu pengetahuan dan untuk masalah-masalah praktis?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan perluasan ruang lingkup filsafat matematika dari masalah internal absolutisme. Tiga isu dapat dipilih sebagai kepentingan khusus, filosofis dan pendidikan. Masing-masing masalah yang dinyatakan dalam dikotomi, dan absolut dan falibilisme perspektif tentang masalah ini dikontraskan. Tiga isu adalah sebagai berikut.
Pertama-tama, ada perbedaan antara pengetahuan sebagai hasil akhir, sebagian besar dinyatakan sebagai lembaga yang proposisi, dan aktivitas mengetahui atau pengetahuan mendapatkan. Yang terakhir ini berkaitan dengan asal-usul pengetahuan, dan dengan kontribusi manusia untuk pembuatannya. Sebagaimana telah kita lihat, pandangan absolut fokus pada sebelumnya, yang telah selesai atau diterbitkan pengetahuan, dan yayasan dan pembenaran. pandangan absolut tidak hanya fokus pada pengetahuan sebagai produk objektif, mereka sering menyangkal legitimasi filosofis mempertimbangkan usul pengetahuan sama sekali, dan memperuntukkan ini untuk psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Satu pengecualian parsial untuk ini konstruktivisme, yang mengaku agen mengetahui dalam bentuk bergaya.
Sebaliknya, falibilisme dilihat dari sifat matematika, dengan mengakui Peran kesalahan dalam matematika tidak bisa lepas dari mempertimbangkan penggantian teori dan perkembangan ilmu pengetahuan. Di luar ini, pandangan tersebut harus peduli dengan konteks manusia pembuatan pengetahuan dan asal-usul sejarah matematika, jika mereka untuk menjelaskan secara memadai untuk matematika, dalam segala kepenuhannya.
Karena pentingnya masalah ini, perlu menambahkan lebih dan lebih Argumen umum tentang kebutuhan untuk mempertimbangkan usul pengetahuan. Ini Argumen didasarkan pada realitas pertumbuhan pengetahuan. Sebagai sejarah menggambarkan, pengetahuan adalah terus-menerus dalam keadaan perubahan di setiap disiplin ilmu, termasuk matematika. Epistemologi tidak terhitung memadai untuk pengetahuan jika berkonsentrasi hanya pada formulasi statis tunggal, dan mengabaikan dinamika pertumbuhan pengetahuan. Hal ini seperti meninjau film atas dasar dari pengawasan detail dari bingkai kunci tunggal! Jadi epistemologi harus menyibukkan dirinya dengan dasar mengetahui, yang menjadi dasar dinamika pertumbuhan pengetahuan, serta dengan spesifik tubuh pengetahuan diterima pada satu waktu. filsuf tradisional seperti Locke dan Kant mengakui legitimasi dan bahkan perlunya pertimbangan genetik di epistemologi. Begitu juga peningkatan jumlah filsuf modern, seperti Dewey (1950), Wittgenstein (1953), Ryle (1949), Lakatos (1970), Toulmin (1972), Polanyi (1958), Kuhn (1970) dan Hamlyn (1978).
Kedua, ada perbedaan antara matematika sebagai terisolasi dan diskrit disiplin ilmu, yang ketat dibatasi dan dipisahkan dari alam lain pengetahuan, sebagai lawan pandangan matematika yang terhubung dengan, dan tak terpisahkan bagian dari seluruh bahan pengetahuan manusia. Absolut dilihat dari matematika sesuai itu status yang unik, itu berada (dengan logika) satu-satunya wilayah tertentu pengetahuan, yang unik terletak pada bukti yang ketat. Kondisi ini, bersama-sama dengan yang internalis penolakan terkait relevansi sejarah atau genetik atau manusia konteks, berfungsi untuk membatasi matematika sebagai disiplin terisolasi dan diskrit.

Fallibilists mencakup jauh lebih banyak dalam lingkup filsafat matematika. Sejak matematika dipandang sebagai bisa melakukan kesalahan, itu tidak dapat dikategorikan bercerai dari empiris (dan karenanya keliru) pengetahuan tentang ilmu-ilmu fisik dan lainnya. Sejak fallibilism hadir untuk asal-usul pengetahuan matematika serta produknya, matematika dipandang sebagai melekat dalam sejarah dan dalam praktek manusia. Karena itu matematika tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, atau dari pertimbangan budaya manusia pada umumnya. Jadi dari perspektif falibilisme matematika dipandang sebagai terhubung dengan, dan tak terpisahkan bagian dari seluruh struktur pengetahuan manusia.
Perbedaan ketiga dapat dilihat sebagai spesialisasi dan pengembangan lebih lanjut dari kedua. Ini membedakan antara pandangan matematika sebagai tujuan dan bebas nilai, yang hanya peduli dengan logika batin sendiri, berbeda dengan matematika dipandang sebagai bagian integral dari budaya manusia, dan dengan demikian sepenuhnya dijiwai dengan nilai-nilai manusia sebagai bidang lain pengetahuan dan usaha. pandangan absolut, dengan internal mereka kekhawatiran, melihat matematika sebagai tujuan dan benar-benar bebas dari moral dan manusia nilai-nilai. Pandangan falibilisme, di sisi lain, menghubungkan matematika dengan sisa pengetahuan manusia melalui asal-usul historis dan sosialnya. Oleh karena itu melihat matematika sebagai nilai-sarat, dijiwai dengan nilai-nilai moral dan sosial yang memainkan peran penting dalam pengembangan dan aplikasi matematika.

Apa yang telah dikemukakan adalah bahwa perhatian yang tepat dari filosofi matematika harus mencakup pertanyaan eksternal mengenai asal-usul historis dan sosial konteks matematika, selain masalah internal mengenai pengetahuan, keberadaan, dan pembenaran mereka. Selama beberapa tahun telah terjadi perdebatan paralel atas dikotomi internalis-externalist dalam filsafat ilmu (Losee, 1987). Seperti dalam filosofi matematika telah terjadi perpecahan antara filsuf mempromosikan pandangan internalis dalam filsafat ilmu (seperti empiris logis dan Popper) dan orang-orang yang mendukung pandangan externalist. Yang terakhir mencakup banyak paling filsuf baru-baru ini berpengaruh ilmu pengetahuan, seperti Feyerabend, Hanson, Kuhn, Lakatos, Laudan dan Toulmin. Kontribusi dari para penulis ini dengan filsafat ilmu adalah kesaksian yang kuat untuk perlunya mempertimbangkan pertanyaan 'eksternal' dalam filsafat ilmu. Namun dalam filsafat ilmu, bahkan filsuf mengemban posisi internalis, seperti Popper, mengakui pentingnya mempertimbangkan pengembangan pengetahuan ilmiah untuk epistemology.

Manusia dalam Pandangan Filsafat

 Manusia dalam Pandangan Filsafat
1 Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Di mana kedudukan dan fungsi manusia? Lalu apa tujuan manusia? Beberapa pertanyaan itu tidak akan usang dipertanyakan sepanjang jaman apabila membahas topik manusia. Dalam ilmu mantiq (logika) manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq (manusia adalah binatang yang berfikir). Nathiq sama dengan berkata-kata dan mengeluarkan pendapatnya berdasarkan pikirannya. Sebagai binatang yang berpikir manusia berbeda dengan hewan. Walau pada dasarnya fungsi tubuh dan fisiologis manusia tidak berbeda dengan hewan, namun hewan lebih mengandalkan fungsi-fungsi kebinatangannya, yaitu naluri, pola-pola tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya fungsi kebinatangan juga ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat perkembangan binatang, semakin fleksibel pola-pola tindakannya dan semakin kurang lengkap penyesuaian struktural yang harus dilakukan pada saat lahirnya. Pada primata yang lebih tinggi (bangsa monyet) bahkan dapat ditemukan intelegensi yaitu penggunaan pikiran guna mencapai tujuan yang diinginkan sehingga memungkinkan binatang untuk melampaui pola-pola kelakuan yang telah digariskan secara naluri. Namun setinggi-tingginya perkembangan binatang, elemen-elemen dasar eksistensinya yang tertentu masih tetap sama. Manusia menyadari bahwa dirinya sangat berbeda dari binatang apa pun. Tetapi memahami siapa sebenarnya manusia itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari pembahasan manusia tentang dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama. Barangkali sejak manusia diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang siapakah dirinya itu mulai timbul. Namun informasi secara tertulis tentang hal ini baru terlacak pada masa Para pemikir kuno Romawi yang konon dimulai dari Thales (abad 6 SM). Berikut pandangan filsafat terhadap manusia dari beberapa sudut pandang yakni dari: 1.Teori descendensi, Teori ini meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab mekanis. Artinya manusia tidaklah jauh berbeda dengan hewan, dimana manusia termasuk hewan yang berfikir, melakukan segala aktivitas hidupnya, manusia juga tidak beda dengan binatang yang menyusui. Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir. Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan. Berdasarkan Thomas Hobbes, Homo homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya (berdasarkan sifat dan tabiat) Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa. Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas ( das rucht festgestelte tier ). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Julien, bahwa manusia manusia tak ada bedanya dengan hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang terus bekerja ( de lamittezie). Artinya bahwa dari aktivitas manusia dimulai bangun tidur sampai ia tidur kembali manusia tidak berhenti untuk beraktivitas. Menurut Ernest Haeskel, bahwa manusia merupakan (animalisme), tak ada sanksi bahwa segala hal manusia sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan menyusui. Artinya bahwa tidak diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang menyusui. Menurut Adi Negara bahwa alam kecil sebagian alam besar yang ada di atas bumi. Sebagian dari makhluk yang bernyawa, sebagian dari bangsa antropomoker, binatang yang menyusui, akan tetapi makhluk yang mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat menguasai kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya (lahir dan batin). 2.Metafisika, adalah teori yang memandang keberadaan sesuatu dibalik atau di belakang fisik. Dalam teori ini manusia dipandang dari dua hal yakni: a.Fisik, yang terdiri dari zat. Artinya bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera dengan panca indera. b.Ruh, manusia identik dengan jiwa yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan penghayatan semua itu tidak dapat diindera dengan panca indera. 3.Psikomatik, memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga keberlangsungannya artinya manusia memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) untuk keberlangsungan hidupnya. Manusia terdiri dari sel yang memerlukan materi cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai ekonomi (dinilai dengan harta / uang) artinya manusia memerlukan kebutuhan duniawi yang harus dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan merasa puas terhadap pencapaiannya. Manusia juga terdiri dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai keagamaan (pahala). Dalam menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran agama, melalui ceramah keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Dalam hal ini manusia ingin menjadi manusia yang paling sempurna. Untuk menjadi manusia sempurna haruslah memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1.Rasionalitas 2.Kesadaran 3.Akal budi 4.Spiritualitas 5.Moralitas 6.Sosialitas 7.Keselarasan dengan alam

Keseimbangan Akal dan Hati

Keseimbangan Akal dan Hati
Dua hal yang berbeda. Akal dan Perasaan. Akal memilki ranah tersendiri begitu juga dengan perasaan yang dekat dengan hati, keyakinan. Masing-masing memilki alat ukur sendiri untuk mengukur sesuatu. Masing-masing memilki standard yang berbeda untuk satuan dan dimensinya untuk menilai sesuatu. Masing-masing tidak bisa dibohongi.

Banyak orang berkata bahwa barang siapa menginginkan kesuksesan maka gunakanlah hati dan pikiran secara seimbang. Dalam bersikap, bertutur kata, dan dalam mengambil keputusan hendaknya meminta pertimbangan dari akal maupun hati. Dengan pertimbangan akal maka keputusan tersebut juga tidak akan melanggar kebenaran akal, minimal akal kita sendiri. Dengan menggunakan hati, keputusan tersebut tidak akan bertentangan dengan hati seseorang, minimal hati kita sendiri. Mengapa hal ini harus dilakukan? Masing masing akal dan hati secara umum mengetahui suatu kebenaran umum yang diakui bersama. Barangsiapa yang melanggar ketentuan akal dan hati maka ia adalah orang yang menentang akal atau hati.

Pada zaman Aufklarung ( pencerahan ) di abad ke 18 seorang anak manusia bernama Immanuel Kant berpendapat tentang zaman pencerahan adalah zaman dimana manusia keluar dari keadaan tidak akil balik. Manusia telah berani untuk berfikir sendiri. Semula Kant dipengaruhi oleh rasionalisme Leibniz dan Woltf kemudian ia pun dipengaruhi empirisme Hume, selain juga nampak pula pengaruh Rousseou.
Keseimbangan akal dan hati ini telah dicetuskan oleh Kant. Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.

Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut Kant juga berpendapat bahwa moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Pada 1790 Kant menulis Critiqe of the Power of Judgment. Di dalamnya ia menyentuh bidang estetika.

Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu, tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan pada sebuah pengadilan. Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali langkah-langkah yang telah kita rumuskan. Perdebatan di dalam refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada. Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatisme dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba-raba secara acak. haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.
Immanuel Kant berpikir lain. Pada Kant metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi hendak menyibak dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendak pertama-tama menyelidiki manusia (human faculties) sebagai subjek pengetahuan.

Disiplin metafisika selama ini yang mengandaikan adanya korespondensi pikiran dan realitas hingga menafikkan keterbatasan realitas manusia pada akhirnya direvolusi total oleh Kant. Dalam diri manusia, menurut Kant, ada fakultas yang berperan dalam menghasilkan pengetahuan yaitu sensibilitas yang berperan dalam menerima berbagai kesan inderawai yang tertata dalam ruang dan waktu dan understanding yang memiliki kategori-kategori yang mengatur dan menyatukan kesan-kesan inderawi menjadi pengetahuan.

Tulisan Kant yang paling awal cenderung pada metafisika rasionalistik.
Kaum rasionalis percaya bahwa dasar dari seluruh pengetahuan manusia ada di dalam pikiran. Sedangkan kaum empiris percaya seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari pencerahan indrawi.

Kant beranggapan bahwa kedua pandangan itu sama sama benar separuh, tapi juga sama sama salah separuh. Jadi baik indrawi maupun Akal sama sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia.
Dengan adanya keseimbangan antara akal dan hati inilah sebenarnya menerangkan tentang moral. Moral adalah penunjang keberhasilan seseorang. Nabi Muhammad sebagai tokoh dunia yang diakaui oleh orang baratpun pernah mengatakan. “Jika engkau ingin berhasil maka akhlak adalah kuncinya”.
Selanjutnya filsafat Kant ini disebut sebagai filsafat transendental (transcendental Philosophy). Filsafat transendental adalah filsafat yang berurusan bukan untuk mengetahui objek pengalaman melainkan bagaimana subjek (manusia) bisa mengalami dan mengetahui sesuatu. Filsafat transendental itu tidak memusatkan diri dengan urusan mengetahui dan mengumpulkan realitas kongkrit seperti misalnya pengetahuan tentang anatomi tubuh binatang, geografis, dll, melainkan berurusan dengan mengetahui hukum-hukum yang mengatur pengalaman dan pemikiran manusia tentang anatomi tubuh binatang, dll. Hukum-hukum itu oleh Kant disebut hukum apriori (hukum yang dikonstruksi akal budi manusia) dan bukan hukum yang berdasarkan pengetahuan inderawi (aposteriori).

Dengan demikian metafisika gnoseologi Kant ini merupakan sebuah upaya untuk mereduksi realitas kongkrit (inderawi) pada realitas di dalam akal budi. Bahwa akal budi manusia mempunyai struktur-struktur pengetahuan mengenai segala apa yang ada.
Dalam pandangan Kant, objek itu nampak hanya dalam kategori subjek, jadi tidak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi manusia. Sebenarnya pemikiran Kant ini berangkat dari pemahamanya tentang hakikat realitas atau neumena itu tidak pernah diketahui , yang kita ketahui itu gejalahnya. Sejauh objek itu saya lihat lantas segala yang dilihat itu masuk dalam akal budi menjadi pengetahuan.
http://philosophia-gun.blogspot.co.id/2010/01/keseimbangan-akal-dan-hati.html?m=1

DAFTAR PUSTAKA

1. Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
2. http://cobra_go.blog.plasa.com/2008/06/22/immanuel-kant/ (13-1-2009)
3. http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/11/14/pemikiran-immanuel-kant/ (13-1-2009)
4. Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.

Hati Hati menjaga Hati

Hati-Hati Menjaga Hati

SEBAGIAN manusia di abad modern saat ini, sudah melupakan satu dari dua sisi hati yang membentuk eksistensinya. Manusia lebih melengkapi dirinya dengan kemajuan teknologi yang canggih dan berbagai ilmu pengetahuan yang eksperimental. Namun, menanggalkan nilai-nilai kebajikan yang sangat dibutuhkan oleh ruh dan jiwanya. Pondasi kerohanian menjadi rapuh lantaran digerogoti hawa nafsu yang menistakan.

Dalam memahami konsep hati, perlu dibedakan hati dalam arti fisik dan hati dalam arti rohani. Hati dalam arti fisik yaitu daging sanubari, daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di rongga dada sebelah kiri, yang berisi darah hitam kental sebagai sumber nyawa seseorang.

Adalah mudghoh (segumpal darah) sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW yang sangat berpengaruh bagi kesehatan diri setiap manusia. Apabila kondisi segumpal darah itu baik, maka akan baiklah seluruh bagian tubuhnya. Sebaliknya, apabila segumpal darah itu rusak, maka akan rusaklah seluruh bagian tubuh tersebut.

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai makna kata mudghoh. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai organ bagian dalam manusia yang disebut liver. Namun, mayoritas ulama berpendapat dengan menafsirkannya sebagai jantung dalam organ tubuh manusia.

Terlepas dari perbedaan itu, hadits di atas memiliki kedalaman makna. Dzahir dimaknai fisik yang penting dalam organ tubuh manusia karena menyangkut nyawa seseorang dan makna bathin berupa rohaninya, sebagai cermin kepribadian manusia.

Mulla Shadr, seorang filosof muslim menjelaskan bahwa hati dalam pengertian rohani memiliki tiga macam kategori. Di mana antara manusia yang satu dengan manusia lainnya bisa saja berada dalam kategori yang berbeda.

Pertama, yang disebut dengan Qalb. Sesuai makna katanya yaitu: “bolak balik” atau memiliki sifat yang tidak stabil. Selalu memiliki potensi yang saling bertolak belakang, terjadi tarik menarik antara dua kutub yang saling bertentangan. Dua potensi itu adalah hal yang mengajak kepada kebaikan atau keburukan, ketaatan ataupun kemaksiatan.

Hati yang sehat adalah hati yang selalu memberikan potensi yang baik, menggerakkan kepada hal yang positif. Hati yang penuh dengan cahaya keimanan, yang akan membuat seseorang untuk memberi manfaat kepada sesama dan menjauhkannya dari perbuatan yang merugikan sesama.

Seorang muslim sejati seharusnya menghiasai hari-harinya dengan sesuatu yang membawa manfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk tabungan kehidupan di akhirat nanti. Begitupun sebaliknya, hati seseorang yang terdapat penyakit hatinya akan menggerakkan perilakunya kepada hal-hal yang negatif dan menjerumuskan kepada keburukan dan kemaksiatan.

Seringkali hati manusia berada dalam kondisi tarik menarik antara yang hak dengan yang batil. Di satu sisi manusia sering berbuat kebaikan. Di sisi lain, kemaksiatan juga masih sering dilakukan. Terkadang, dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul keinginan untuk melakukan kecurangan setiap kali ada kesempatan, meski di saat yang sama juga masih teringat akan dosa.

Pada akhirnya, manusia menjadi bingung dan ragu-ragu apakah mau melakukan atau tidak. Di sini, terjadi tarik menarik antara qalb dan nafsu. Karenanya, seorang muslim dianjurkan agar di dalam shalat pada akhir bacaan tasyahud akhir sebelum mengucapkan salam untuk memohon kepada Allah SWT dengan do’a, "Duhai Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, mantapkanlah hati kami dalam meniti ajaran agama-Mu dan tunduk dalam taat kepada-Mu (Yaa muqalliba al-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika wa ‘alaa thaa’atika).

Kedua, kategori hati yang disebut Al Fuad. Makna Al Fuad lebih dekat kepada makna akal, yaitu hati yang mampu mempertimbangkan secara matang, sisi baik dan sisi buruk dari setiap perbuatan dan tindakan. Hati yang berani secara tegas memilih jalan kebaikan dan meninggalkan keburukan, hati yang lebih mengedepankan suara kebenaran dan menanggalkan kebatilan.

Ketiga, kategori hati Al-Lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, di mana setiap kebaikan yang dilakukan adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam dunia tasawuf kategori hati seperti ini sering disebut dengan istilah singgasana Allah (baitullah). Para sufi memberikan makna kiasan (majazi) dalam pemaknaannya, yang pada dasarnya sangat berbeda antara baitullah yang ada dalam diri manusia dengan baitullah dalam pengertian Ka’bah yang menjadi kiblat, sekaligus pusat kegiatan ritual ibadah haji.



Seorang muslim yang telah melaksanakan haji ke Tanah Suci Mekkah, dapat mengambil pelajaran berharga dari ibadahnya itu. Selain untuk memenuhi kewajiban syar’i, perjalanan haji yang lebih hakiki sesungguhnya adalah perjalanan masuk ke dalam dirinya sendiri untuk menghidupkan lub atau hati nurani sehingga hatinya terisi oleh pancaran cahaya Ilahi.

Demikian pula bagi yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syar’i, masih ada kesempatan untuk mencapai derajat haji secara hakiki, yaitu dengan senantiasa melatih diri agar hatinya sampai pada derajat kategori yang paling tinggi, yaitu lub yang tak lain merupakan baitullah.

Sehingga hati penuh dengan pancaran cahaya Ilahi, hati yang telah betul-betul mengenal Tuhannya dengan baik. Dalam konteks ini, hujjatul Islam, Imam Al Ghazali RA menyatakan, "Man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mampu mengenali dirinya (yaitu, hatinya telah sampai pada kategori lub), maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya).

Sikap produktif seseorang dalam menjalankan nilai kebaikan dan kebajikan tidak mungkin dapat diraihnya apabila dalam kondisi hatinya yang dipenuhi dengan kedengkian, kebencian, kedzaliman, dan kegelapan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai anakku, apabila kamu mampu pada setiap pagi dan sore dan hati kamu tidak terdapat kebencian terhadap seorang pun, maka lakukanlah. Karena yang demikian itu adalah termasuk dari sunnahku, dan barang siapa menghidupkan sunnahku, maka dia mencintaiku. Barang siapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.”

Karenanya, seorang muslim harus berhati-hati dalam menjaga hatinya, dengan menjauhkan dari segala bentuk penyakit hati rohani seperti ghibah, buhtan, iri hati, dengki, hasud, sombong, dan berbagai penyakit hati lainnya yang bersumber dari lubuk hati ruhaninya.

Ghibah sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW adalah menceritakan hal-hal seseorang yang tidak disukai, kemudian diceritakan kepada orang lain--walaupun cerita itu, diragukan kebenarannya. Bila cerita itu tidak benar, maka itu disebut sebagai buhtan (tuduhan palsu atau fitnah) dan itu lebih besar dosa dan ganjarannya.

Ghibah itu sangat besar dosanya. Cara bertaubatnya, selain memohon ampunan kepada Allah SWT juga harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya. Tetapi, kalau tidak memungkinkan, maka wajib baginya bertaubat kepada Allah SWT dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang digunjingkannya itu di tempat-tempat yang pernah ia mengunjing orang itu.

Begitu keras larangan untuk bergunjing, sampai orang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Karena ghibah memiliki dampak negatif yang sangat besar dalam kehidupan, bagaikan virus yang dengan cepat dapat mematikan.

Begitu juga dengan penyakit hati rohani lainnya, semua adalah bencana dan kejahatan yang tidak manusiawi yang menjerumuskan pelakunya kepada jurang kenistaan, baik di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, ada sifat iri hati, dengki, dan hasut yang dibolehkan dalam ajaran Islam.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Hasut tidak diperbolehkan, kecuali dalam dua hal, iri hati kepada orang yang dianugerahi Allah berupa harta yang banyak, lalu digunakan untuk kepentingan kebenaran dan iri hati kepada orang yang dianugerahi Allah banyak ilmu, lalu ia mengamalkan ilmu itu dan mengajarkan kepada orang lain.”

Hati memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karenanya, hati secara fisik maupun rohani perlu untuk dijaga secara ekstra hati-hati. Menjaganya dengan pola hidup yang sehat sesuai tuntunan dari Rasulullah SAW, berdzikir mengingat Allah SWT Sang Pencipta Kehidupan Yang Maha membolak-balikkan hati dengan menjalankan segala bentuk perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, shalat fardhu dan menjalankan shalat sunnah, membaca dan mentadabburi makna isi kandungan Al Qur’an. Karena hati adalah organ manusia yang penuh dengan pancaran cahaya Ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT melebihi anugerah apapun.

Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi, bila hati yang di miliki tumpul, gersang, tandus, keras, tidak terisi pancaran cahaya Ilahi.  Shaleh bin Abdul Qudus memberikan nasihat dalam syairnya, “Berusahalah untuk tidak melukai hati, karena tidaklah mudah memulihkannya bila telah terluka.”

Mahmud Sami Basya Al Barudi juga memberikan nasihat dalam pujangganya, “Tinggalkanlah apa yang meragukan dan ambillah apa yang telah diciptakan untukmu, semoga hatimu yang beriman dapat mengambil manfaat.”

Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah dan inayah-Nya kepada manusia sehingga dapat berhati-hati dalam menjaga hatinya, baik dalam wujud fisik maupun rohani, seraya mengangkat tangan, berdoa kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Amin Yaa Rabbal Aalamiin.

Anwar Rizqi

Bagaimana Hubungan Anda dengan Tuhan?

Bagaimana hubungan Anda dengan Tuhan (apakah Anda juga kenal)?


 Lagi-lagi untuk menjawab pertanyaan ini saya harus mengandaikan beberapa syarat [catatan: saya harus selalu melakukan hal ini untuk menghindari kesimpang-siuran kategorisasi jawaban dan argumen saya nantinya ke dalam kelompok yang salah. Lagipula, saat ini, banyak sekali aliran filsafat yang pernah muncul tentang ketuhanan sehingga diperlukan syarat sebagai pengandaian untuk meluruskan posisi filosofis saya]. Pengandaian tersebut adalah: Pertama, Tuhan itu ada. Kedua, dengan cara-cara tertentu, saya bisa berhubungan dengan Tuhan. Ketiga, cara saya berinteraksi dengan Tuhan tidak sama dengan cara berinteraksi saya dengan manusia.

Bermodalkan tiga premis dasar di atas, saya menjawab bahwa hubungan saya, Anda, kita manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang bersifat transenden. Dalam hubungan ini, seperti yang dimodalisasikan oleh premis ketiga, kita tidak berinteraksi dengan Tuhan selayaknya kita berinteraksi dengan warga dunia. Kita melampaui semua batasan dan pengertian interaksi yang ada, dan keadaan melampaui yang demikian adalah keadaan yang transenden.

Lantas apakah karena transendensi/pelampauan yang demikian, kita harus melampaui diri kita sendiri untuk mencapai Tuhan? Lantas apa pula yang dimaksud dengan melampaui diri itu? Tanpa ingin berputar-putar tentang konsep transendensi dan pelampaun diri, saya akan langsung membuat sebuah batasan tegas tentang apa yang disebut transendensi diri dalam berhubungan dengan Tuhan. Menurut saya, dalam hubungan saya-Tuhan, melampaui diri saya sendiri adalah:

Jauh masuk ke wilayah hati/nurani/jiwa saya yang terdalam.
Melepaskan banalitas/ketidakberartian keseharian.
Fokus sepenuhnya terhadap apa yang kita lakukan dalam sarana berhubungan dengannya [entah itu berdo’a, menyebut nama-Nya dsb.]
Tiga jawaban di atas sekaligus bisa menjadi alasan mengapa Tuhan menyeru kita untuk beribadah dan berhubungan dengan Nya di malam hari.

Apa Tujuan Anda dan Bagaimana Hubungan Anda dengan Manusia?

Apa tujuan Anda diciptakan ke dunia?


Bagi saya, pertanyaan ini mengandaikan beberapa syarat sebelum dijawab: pertama, Tuhan itu ada. Kedua, Tuhan yang menciptakan kita. Ketiga, tujuan kita diciptakan dimiliki oleh yang menciptakan kita, yaitu Tuhan. Sampai pada syarat ketiga, secara sepihak, saya bisa saja menjawab kalau tujuan saya diciptakan adalah sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Dan saya akan berkata: tujuan hidup saya mungkin bisa sama dengan tujuan saya diciptakan/tujuan Tuhan menciptakan saya, tetapi tetap saja dua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda. Oleh karenanya, dengan tetap mempertahankan syarat di atas, saya menjawab kalau pertanyaan ini tidak bisa saya jawab [hanya Tuhan yang bisa menjawab].


Bagaimana hubungan Anda dengan sesama manusia?


Seperti yang telah saya uraikan, pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan yang paling populer di era filsafat masa kini (filsafat postmodernisme). Tatkala ledakan populasi, perkembangan teknologi, dekadensi moral, kesimpang-siuran supremasi hukum, dan akulturasi tanpa batas agama + budaya terjadi di dunia yang semakin sesak, sangatlah menarik untuk menkaji secara filosofis hubungan sesama manusia.

Sekarang saya mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan membongkar pertanyaan ini menjadi pertanyaan-pertanyaan kecil. Anda yang mengambil kesimpulan dari jawaban-jawabannya nanti.

Di mana Anda berhubungan dengan sesama manusia?

Di ruang sosial. Ruang sosial itu terdiri dari berbagai sektor/wahana/ranah/wilayah. Terkadang saya berinteraksi dengan mereka di sekolah, di rumah, di lingkungan berumah tangga, di mal dan masih banyak lagi.

Apa masing-masing sektor punya ciri?

Pasti. Dan ciri-ciri itu memberikan saya opsi untuk berhubungan dengan orang dengan cara tertentu. Secara sederhana, opsi yang saya punyai untuk berhubungan dengan orang di sekolah berbeda dengan opsi yang ada di rumah. Perbedaan kemungkinan/opsi inilah yang mengindikasikan bahwa setiap sektor memang punya ciri sendiri-sendiri.

Berarti sektor menentukan kualitas dan kuantitas hubungan?

Saya jawab YA. Karena kalau saya jawab tidak bagaimana mungkin saya bisa mencap kualitas buruk untuk sektor diskotik dan tempat hiburan malam. Pun saya selalu mengalami kuantitas hubungan yang pastinya akan berbeda dikarenakan perbedaan opsi dan kualitas sektor itu sendiri.

Kalau demikian hubungan dengan manusia dibatasi oleh keterbatasan sektor secara spasial dan temporal serta secara potensial [maksudnya kita harus selalu mengikuti aturan yang ada di sektor tersebut]?

Hubungan dengan orang lain, tanpa atau dengan mengikutsertakan konsep sektor, memang selalu berada secara spasial dan temporal, sedangkan aturan yang berada dalam sektor memang menjadi sesuatu yang harus kita penuhi bila kita berada di ruang sosial. Tugas kita hanyalah menyelaraskan apa yang hendak kita lakukan dengan aturan tersebut.

Ruang sosial adalah tempat berhubungan, dan pastinya orang lain adalah objeknya?

Jangan sesekali menyebut orang lain sebagai objek hubungan sosial. Orang lain juga penting, ingin dianggap penting, sama seperti kita menganggap diri kita penting. Oleh karenanya, sebut saja hubungan dengan sesama manusia sebagai intersubjektivitas.

Dimana Anda Semestinya?

Dimanakah Anda semestinya (hakikatnya)?


Nah, sekarang mungkin saat yang lebih tepat untuk menggunakan konsep filsafat abad pertengahan untuk menjawab pertanyaan: Apa hakikat diri saya? [catatan: sebenarnya saya mengalami kesulitan dalam menginterprestasi pertanyaan Anda yang menggunakan kata tanya di mana sementara dalam tanda kurung Anda menuliskan kata hakikat. Dalam filsafat pertanyaan tentang hakikat diri lebih umum dari pertanyaan tentang tempat seseorang berada. Oleh karenanya, saya menginterprestasi pertanyaan Anda menjadi apa hakikat diri saya?].

Seperti yang saya utarakan tadi, pertanyaan apa hakikat diri saya? Mulai mengemuka secara luas pada masa filsafat abad pertengahan. Rene Descrates adalah orang yang bertanggung jawab terhadap mengemukanya pertanyaan ini. Descrates membuat suatu distingsi kaku bahwa diri terdiri dari pikiran/jiwa dan tubuh, yang keduanya benar-benar berbeda secara esensial. Di sini, saya tidak akan mencoba mengkritik konsep yang ditawarkan Descrates. Konsep tersebut, sekalipun terdengar sederhana, merupakan konsep yang melandasi banyak pemikiran filsafat pada abad selanjutnya mulai dari Hume sampai Kant.

Beralih ke konsep saya sendiri, saya menilai bahwa hakikat/esensi diri saya yang terpenting bukanlah jiwa, tubuh, jiwa-tubuh, ruh, atau bahkan jiwa-tubuh-ruh. Saya menyebut hakikat diri saya sebagai ke-kini-an atau ke-di sini-an saya. Bila saya menyebut jiwa, ruh, tubuh atau bahkan gabungan dari ketiga elemen tersebut sebagai hakikat saya, tidak-lain-tidak-bukan, saya menyebut bagian-bagian eksistensi saya sendiri sebagai esensi saya. Namun, manakala saya menyebut bahwa ke-kini-an dan ke-di sini-an sebagai esensi saya maka saya menyebut seluruh proses kehidupan saya mulai dari tubuh yang terberi (given) sampai saya yang sekarang telah menjadi esensi atau sesuatu yang inheren dalam tubuh saya. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, saya bisa menyebut kalau kehidupan sayalah yang menjadi esensi saya. Pilihan-pilihan saya-lah yang menjadi esensi/hakikat saya.

Pendapat saya ini, saya rasa, sangat selaras dengan konsep beragama. Agama mengajarkan bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita lakukan. Mendapatkan apa yang menjadi esensi kita. Bila yang kita lakukan baik/esensi kita baik maka balasan yang kita terima baik, dan sebaliknya. Dalam filsafat, konsep yang saya anut ini juga dianut oleh seorang filsuf Denmark bernama Kierkegard. Kierkegard adalah filsuf yang menimbang esensinya sebagai apa-apa yang telah ia pilih dalam kehidupannya.